HAK IMUNITAS ADVOKAT

HAK IMUNITAS ADVOKAT

A. Latar Belakang
Profesi advokat atau pengacara, konsutan hukum, mediator, dan notaris menimbulkan polemik tersendiri dalam masyarakat. Masyarakat dibingungkan dengan istilah yang serupa tapi tak sama tersebut. Dari masing-masing profesi tersebut memiliki pengertian yang sesungguhnya berbeda-beda, namun masih dalam satu ruang lingkup yaitu bahwa kesemuanya itu merupakan profesi dibidang hukum.
Perbedaan secara yuridis formil antara semua profesi tersebut sesungguhnya ada pada undang-undang yang mengaturnya. Menurut pakar hukum Firman Wijaya, dikemukakan bahwa pemahaman mengenai ruang lingkup advokat bisa dilihat dalam lingkup sempit dan luas. Konteks sempit adalah bahwa terdapat pandangan advokat itu hanya memiliki tugas-tugas advokasi, tugas-tugas pembelaan di ruang persidangan. Sedangkan dalam konteks luas adalah bahwa ruang lingkup advokat tidak semata-mata di luar ataupun di dalam persidangan setapi dalam bentuk advokasi struktural dan peradilan. Jadi ada advokasi litigasi dan non-litigas. Keduanya memiliki tugasyang sifatnya pembantuan yang substansinya adalah memberikan nasehat atau pendapat tentang persoalan hukum.


Lebih lanjut menurutnya bahwa mengenai fungsi notaris adalah sebagai pejabat negara yang bertugas mencatat akta. Kemudian mediator adalah profesi yang tidak menjalankan fungsi advokasi, melainkan memfasilitasi kepentingan orang untuk mempertemukan dalam suatu titik yang temu atau solusi dari permasalahan hukum yang terjadi. Profesi konsultan hukum sendiri merupakan bagian dari profesi advokat yang mempunyai fungsi advokasi, karena bagi seorang advokat memberikan pendapat hukum merupakan bagian dari tugas-tugasnya yaitu pembelaan dan mewakili kepentingan klien.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU No. 18 tahun 2003), pada Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Advokat adalahorang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”.
Jasa hukum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 tersebut mempunyai pengertian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 18 tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.
Klien yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 tersebut adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat. Hal ini terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 18 tahun 2003. Sedangkan untuk dapat diangkat menjadi seorang advokat harus memenuhi persyaratanyang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) undang-undang tersebut yaitu:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Seorang advokat adalah berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Wilayah kerja advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 5 UU No. 18 tahun 2003. Maksud dari “advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut praktisi hukum dari Ikatan Advokat Indonesia (IAI) Mulyadi, menyatakan bahwa sebelum diberlakukannya UU No. 18 tahun 2003, maka yang dimaksud dengan advokat adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseorang yang mempunyai izin praktek beracara di pengadilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan pengacara biasa adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum di dalam pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktek beracara yang dimilikinya. Namun setelah diberlakukannya UU No. 18 tahun 2003, maka tidak lagi dikenal istilah pengacara biasa (pengacara praktek), karena berdasarkan Pasal 32 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa advokat, penasihat hukum, pengacara parktek, dan konsultan hukumyang telah diangkat pada saat UU No. 18 tahun 2003 mulai berlaku dinyatakan sebagai advokat.
Dalam UU No.18 tahun 2003 tersebut juga diatur mengenai hak imunitas atau kekebalan hukum terhadap seseorang advokat dalam menjalankan profesinya. Mengenai hak imunitas tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 14, 15, dan 16 UU No.18 tahun 2003yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 14 : Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. (Penjelasan:Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan)
Pasal 15 : Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. (Penjelasan: Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat).
Pasal 16 : Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. (Penjelasan:Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya. Danyang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan).
Pasal 17 : Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Penjelasan: cukup jelas).

Terkait dengan hak imunitas dari seseorang yang berprofesi sebagai advokat tersebut, terdapat beberapa ketidakjelasan yang ditimbulkan, diantaranya adalah bahwa masih adanya advokat yang dituntut ke muka pengadilan karena menjalankan tugasnya sebagai salah satu pilar penegak hukum.
Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi dari hal tersebut di atas adalah sidang kasus penggelapan dan pencurian dengan terdakwa Kabunang Rudyanto Hunga (Advokat) dan Ny Nurkhunufah (Klien Kabunang R.H.) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang.
Diseretnya Kabunang dan kliennya sebagai terdakwa diawali oleh disomasinya Nurkhunufah oleh lembaga advokasi hukum di Semarang selaku kuasa hukum dari Maksun Pinarto (Komisaris perusahaan) pada tanggal 6 Mei 2002. Surat somasi menyebutkan Nurkhunufah (Direktur perusahaan) tidak boleh lagi beraktivitas di kantor perusahaanjasa pengiriman tenaga kerja PT. Andromeda Graha Jateng, Jalan Pekojan Selatan, Semarang. Oleh karena itu Nurkhunufah meminta bantuan advokasi dari seorang advokat yaitu Kabunang Rudyanto Hunga (Kabunang). Kabunang memberikan saran kepada kliennya untuk memindahkan seluruh peralatan kerja di kantor ke rumah Nurkhunufah di Jalan Selomas Raya,Semarang . Tujuannya, ialah agar Nurkhunufah tetap dapat menjalankan tugasnya seperti biasa. Setelah memindahkan barang-barang pada tanggal 10 dan 12 Mei 2002, Maksun melapor ke polisi bahwa istri dan pengacaranya melakukan pencurian. Akibatnya, Kabunang dan kliennya pun menjadi terdakwa.
Terhadap kasus di atas, menurut Ketua tim kuasa hukum Kabunang yang terdiri dari 48 orang dan menamakan diri sebagai Tim Pembela dan Penegak Profesi Advokat Semarang. Djunaedi, yang juga Koordinator Wilayah IKADIN Jawa Tengah, berpendapat bahwa persidangan kasus Kabunang Rudyanto Hunga (Advokat) dan Ny Nurkhunufah (Klien Kabunang R.H.) di Pengadilan Negeri Semarang tersebut harus dikritisi. Kabunang Rudyanto Hunga bertindak sebagai advokat sehingga, sesuai dengan UU No. 18 tahun 2003 yang mengatur soal imunitas pengacara. Hal ini juga terdapat dalam surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, yang menyatakan bahwa posisi Rudy sebagai pengacara saat kasus pencurian dan penggelapan terjadi. Oleh karenanya Majelis Hakim diharapkan memutus bebas terdakwa, dengan berdasar pada UU No. 18 tahun 2003 yang mengatur hak imunitas advokat.