tag:blogger.com,1999:blog-26625996849728094612024-03-13T07:31:33.976+07:00Ilmu KuliahProfilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comBlogger21125tag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-88926470165352292992010-01-08T20:02:00.003+07:002010-01-08T20:02:39.970+07:00Menunggu Lahirnya UU Antikekerasan dalam Rumah TanggaPADA tanggal 10 Mei lalu penulis sempat berkunjung di sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Ende, salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk sebuah penelitian. Dalam perbincangan dengan kepalarumah sakit tersebut terungkap bahwa dalam setiap bulan petugas rumah sakit setidaknya menemukan satu pasien perempuan yang mengalami tindak kekerasan dari suami.<br /><div class="fullpost"><br />Ungkapan kepala rumah sakit itu menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di daerah itu cukup serius sekalipun tidak ditemukan data statistik resmi tentang kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Ende. Keseriusan persoalan KDRT di kawasan timur Indonesia itu jelas sama seriusnya dengan yang terjadi di kawasan lain di Indonesia.<br /><br />Seperti diungkap Komnas Perempuan dalam buku Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, berdasarkan laporan Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta dari tahun 1994 sampai 2001 tercatat 1.037 kasus kekerasan terha- dap istri. Di Jakarta, berdasarkan laporan Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan (Sikap) dari tahun 1998 sampai 2000 tercatat 92 kasus KDRT<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-71105880994415020962010-01-08T19:54:00.000+07:002010-01-08T19:58:45.858+07:00Pro kontra pidana mati di indonesiaBeberapa tahun terakhir isu penegakan hak asasi manusia semakin santer terdengar, seiring dengan kesadaran masyarakat yang semakin menjunjung tinggi akan penegakan hak asasi manusia. Dengan semakin bertambahnya kesadaran masyarakat, maka pelaksanaan hukuman mati mulai dipertanyakan eksistensinya. Pada awalnya hukuman mati dilakukan guna memberikan efek jera bagi pelaku dan memberikan rasa takut bagi masyarakat agar mereka tidak melakukan tindakan yang diancam dengan ancaman hukuman mati. Tetapi belakangan ini masyarakat khususnya aktifis dan pejuang hak asasi manusia merasa hukuman mati merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, terlebih lagi tujuan dari adanya hukuman mati dianggap tidak terpenuhi. Efek jera yang diharapkan dari diberlakukannya hukuman mati ternyata tidak tercapai, dengan begitu maka efektifitas hukuman mati dipertanyakan.<br /><div class="fullpost"><br />Seiring dengan kenyataan yang ada maka eksistensi hukuman mati yang ada di Indonesia dipertanyakan. Apalagi banyak negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati di negaranya, terutama negara-negara yang telah meratifikas The second optional protocol to the international covenant on civil and political rights, aiming at the abolition of death penalty, yaitu negara Australia, Austria, Denmark, Finlandia, Jerman, Hungaria, Islandia, Irelandia, Italia, Mozambik, Namibia, Belanda, Swiss. Dan banyak lagi negara yang telah menghapuskan hukuman mati.<br /><br />Dunia menganggap hukuman mati merupakan pelanggaran HAM dan oleh karena itu pemberlakuan hukuman mati harus dihapuskan karena hak untuk hidup dari setiap manusia tidak dapat dicabut oleh hukum atau manusia yang lain. Tetapi di beberapa negara hukuman mati masih tetap diberlakukan, salah satunya adalah China. Pemberlakuan hukuman mati di China berawal dari kepemimpinan perdana menteri Zhu Rongji yang memang sejak awal memiliki komitmen untuk menghapuskan korupsi dengan kebijakannya yang terkenal yaitu “ Pemesanan 100 peti mayat”, dimana peti itu dipersiapkan untuk para koruptor dan salah satu peti tersebut dipersiapkan untuk dirinya jika ia berbuat kesalahan. Kebijakan ini terbukti sangat efektif dalam mengurangi tindak pidana terutama korupsi. Kebijakan ini terus dilanjutkan oleh para penerusnya sampai sat ini, bahkan China menjadi menjadi negara terbanyak yang melakukan eksekusi mati bagi para terpidana dan terbukti tindak pidana yang diancam hukuman mati berkurang.<br /><br />Setelah melihat kontroversi yang ada mengenai eksistensi hukuman mati antara kemanusaiaan dengan rasa keamanan bagi masyarakat maka kami mengangkat hukuman mati menjadi tema dalam makalah ini. Apalagi belakangan ini hukuman mati yang ada di Indonesia mendapat sorotan dari berbagai pihak.<br /><br />a.Sejarah hukuman mati di Indonesia<br />Hukuman mati di Indonesia bukanlah hukuman yang populer. Sebab dalam pelaksananaanya sering mendapatkan kritikan dan kecaman dari berbagai pihak. Terutama para pegiat HAM. Hukuman mati dipandang sebagai bentuk pelanggaran HAM. Sebagian orang beranggapan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan rasa kemanusiaan. Dalam Universal Declaration of Human Rights (deklarasi universal hak asasi manusia) dinyatakan bahwa tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara tidak tidak manusiawi atau dihina.<br /><br />Jelas berdasarkan pernyataan di atas hukuman mati dapat dikategorikan telah menyiksa dan memperlakukan manusia secara tidak manusiawi. Padahal setiap manusia diciptakan oleh Tuhan dan hanya tuhan pulalah yang berhak mencabut. Selain itu manusia diciptakan setara dihadapan Tuhan dan tidak boleh berbuat zalim terhadap sesama. Sehingga mencabut hak hidup orang lain dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.<br /><br />Hukuman mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak masa kerajaan. Pada saat itu hukuman mati diberlakukan oleh para raja untuk menjamin terciptanya keamanan dan kedamaian masyarakat yang berada di wilayah kerajaannya. Hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara, seperti dipancung, dibakar, dan diseret dengan kuda.<br /><br />Pada masa kolonial hukuman mati diberlakukan untuk kasus-kasus yang menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan sadis lainnya. Pada masa kolonial hukuman mati diatur di dalam wetboek van strafrecht.<br /><br />Saat itu hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara yang dapat dikatakan tidak manusiawi, seperti adanya kasus antara pemuda yang merupakan calon perwira muda VOC yang berusia 17 tahun yang bermesraan dengan gadis yang berusia 13 tahun, sang pemuda dipancung dan si gadis didera/dicambuk dengan badan setengah telanjang di balai kota. Selain itu ada kasus yang menimpa 6 budak yang dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya, lalu ada kasus Pieter Elberveld dan beberapa orang pengikutnya karena diduga akan melakukan pemberontakan dan akhirnya mereka dihukum mati dengan cara badannya dirobek menjadi empat bagian, kemudian potongan badan tersebut dilempar ke luar kota untuk santapan burung.<br /><br />Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak manusiawi. Hal tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum kolonial. Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan. Sehingga Belanda dapat bertahan cukup lama di Indonesia.<br /><br />Lalu pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur di dalam wetboek van strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pada saat itu ada beberapa kasus yang dijatuhi hukuman mati seperti kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini. Selain itu masih banyak vonis hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan.<br /><br />Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah. Namun pada masa ini tidak terlalu dipertentangkan karena pemerintahan saat itu terkenal sangat represif. Sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan politik Soeharto. Kita pasti masih ingat ketika Petrus menebar teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap” mengganggu ketertiban. Hal seperti itu adalah bentuk hukuman mati secara terselubung.<br /><br />Pasca orde baru pemerintahan tiga presiden juga banyak penjatuhan hukuman mati. Bagaimana ketika megawati menolak tiga permohonan grasi terpidana mati. Pada akhirnya ketiga terpidana tersebut tewas ditangan regu tembak, antara lain Chaubey. Lain halnya ketika masa pemeritahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tercatat ada beberapa kasus yang di jatuhi vonis hukuman mati seperti terpidana mati kasus terorisme seperti Amrozi, Ali Ghufron, Imam Samudera, fabianus Tibo cs.<br /><br />b.Perspektif hukuman mati<br />Sebelum melangkah lebih lanjut membicarakan hukuman mati kita harus mengetahui hukuman mati tersebut. Hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering. Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman mati berarti telah menghilanhkan nyawa seseorang. Padahal setiap manusia memilik hak untuk hidup.<br /><br />Banyak pendapat mengenai pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Perbedaan ini mendasarkan dari berbagai sudut pandang. Tiap orang memiliki kecendrungan untuk mendukung pendapatnya tanpa melihat dari sudut pandang lain. Berbagai sudut pandang yang ada antara lain:<br /><br />1.Perspektif HAM<br />Sebelum beranjak lebih jauh mengenai hukuman mati di Indonesia. Alangkah baiknya terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia. Berikut ini beberapa definisi hak asasi manusia:<br /><br />Hak Asasi Manusia adalah Hak-hak (yang seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Soetandyo Wignjosoebroto.<br /><br />Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.<br /><br />Hak asasi manusia adalah hak dasar/mutlak/kudus/suci pemberian Tuhan yang dimiliki setiap manusia serta menempel/melekat untuk selamanya. Dalam pelaksananaannya harus memperhatikan/menghormati hak orang lain. Hak asasi juga dibareng dengan tanggung jawab asasi dan kewajiban asasi.<br /><br />Maka dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang diberikan dari Tuhan kepada manusia sesuai dengan kodratnya. Hak tersebut bukanlah berasal dari manusia sehingga diantara mereka harus saling menghormati. Manusia tidah sepatutnya hanya menuntut pemenuhan hak tetapi juga harus diimbangi dengan pemenuhan kewajiban asasi.<br /><br />Hak asasi manusia sebenarnya tidak memiliki definisi yang pasti. Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki manusia karena kemanusiaannya1. Hal ini juga didasarkan pandangan bahwa Ham sendiri memilik dua sudut pandang yaitu dari dimensi universal dan dimensi partikular.<br /><br />a.Dimensi universal<br />Dalam dimensi universal HAM dipandang sebagai suatu hak dasar yang ada dalam setiap kehidupan manusia dimanapun ia berada. HAM dimensi universal diatur dalam UDHR (universal declaration of human rights). Secara umum bangsa-bangsa di dunia mengakui adanya HAM. Pengakuan terhadap HAM terwakili dengan adanya pengakuan terhadap UDHR.<br /><br />Dalam pandangan universal hukuman mati harus dihapuskan karena dipandang melanggar Hak hidup seseorang. Nilai-nilai individual yang ada dalam konsep HAM menuntut agar hak seseorang jangan dilanggar. HAM lahir dari nilai-nilai individual yang liberal, yang biasanya hidup dalam negara barat. Hal tersebut mempengaruhi cara pandang aliran HAM ini2. Kelompok negara yang berpandangan terhadap nilai universalitas memandang bahwa di manapun seseorang berada, hak-haknya harus diakui dan dilindungi. Hukuman mati yang jelas bertentangan dengan nilai HAM harus dihapuskan.<br /><br />Sebagai upaya penghapusan hukuman mati negara-negara di dunia terutama negara yang telah meratifikasi The second optional protocol to the international covenant on civil and political rights, aiming at the abolition of death penalty telah menetapkan tanggal 10 oktober sebagai hari anti hukuman mati. Melalui hari peringatan itu diharapkan negara-negara di dunia menghapuskan hukuman mati karena hukuman mati tidak sesuai dengan perkembangan HAM di dunia.<br /><br />b.Dimensi partikular<br />Melihat dimensi partikular HAM tidak melulu kepada pemikiran universal. Penegakkan HAM dikembalikan kepada masing-masing negara. Setiap negara memiliki pandangan yang berbeda sebagaimana yang disebut oleh Von Savigny dengan Volksgeist. Nilai HAM lahir dari nilai luhur suatu bangsa. Begitu pula dengan HAM tiap negara memiliki pandangan berbeda mengenai perlunya hukuman mati. Sebagai contoh dalam masyarakat Uni Eropa hukuman mati telah dihapuskan, sedangkan di Indonesia hukuman mati tetap dipertahankan.<br /><br />Dalam pidato di Konferensi internasional tentang HAM tahun 1993 di Wina wakil delegasi cina menyatakan bahwa<br />“Konsep hak asasi manusia adalah produk dari suatu perkembangan sejarah. Ia terikat secara erat dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang khas dan dengan sejarah, budaya dan nilai-nilai suatu negara tertentu yang khas. Perbedaan dalam tahap-tahap perkembangan sejarah memiliki persyaratan HAM yang berbeda. Negara-negara pada tingkat perkembangan yang berbeda atau dengan latar sejarah dan budaya yang berbeda juga mempunyai praktek HAM yang berbeda. Dengan demikian, orang seharusnya tidak dan tidak dapat memikirkan adanya standar HAM dan model negara-negara tertentu sebagai satu-satunya yang baik dan meminta agar negara-negara lain bertunduk padanya.”<br /><br />Jika melihat dari penggalan pidato di atas terlihat bahwa tidak semua negara menganut HAM universalitas. Maka keputusan mengenai hukuman mati dikembalikan pada masing-masing negara. Hal tersebut diserahkan kepada nilai HAM yang hidup dalam suatu bangsa. Kita tidak dapat memaksakan bahwa hukuman mati ditiadakan. Tetapi di negara tertentu hukuman mati masih diperlukan. Indonesia yang berpandangan kontekstual (berpegang pada nilai bangsa) masih mengakui adanya hukuman mati.<br /><br />2.Perspektif agama<br />Agama merupakan pegamgan hidup bagi setiap manusia. Setiap manusia yang beragama pasti mendasrkan hidupnya pada aturan-aturan dalam agamanya. Peraturan tersebut diatur dalam kitab suci ataupun pendapat dari para agamawan agama juga memberikan perlindungan hak asasi bagi setiap umat manusia.<br /><br />Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia mengenal adanya hukuman mati. Hukuman mati secara jelas diatur dalam kitab Al-qur’an. Hal ini diberlakukan untuk memberikan efek jera dan perlindungan. Tidak semua pelanggaran dalam Jinayat dikenakan hukuman mati, tetapi hanya pada perkara tertentu seperti Murtad, penghinanan terhadap nabi, zina, pembunuhan, pemerkosaan, dll.<br /><br />Agama kristen juga mengenal adanya hukuman mati. Dalam prakteknya sejak mulai diberlakukannya ius divinum sampai dengan corpus iuris canonici di dalam agama kristen praktek-praktek hukuman mati diakui eksistensinya. Agama kristen bersumberkan pada kitab injil baik perjanjian baru maupun perjanjian lama. Juga berdasarkan keputusan-keputusan konsili di Roma.<br /><br />Melihat pada sejarah, banyak peristiwa-peristiwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh gereja. Kita dapat mengetahui perihal pidana mati yang dijatuhkan pada Galileo Galilei. Pidana mati yang dijatuhkan oleh gereja biasanya berupa dibakar atau meminum racun. Dasar penjatuhan pidana biasanya adalah karena melanggar aturan-aturan tuhan.<br /><br />Hukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk berbagai perbuatan: pembunuhan, penculikan, hubungan seks dengan binatang, perzinahan, homoseksualitas, menjadi nabi palsu, pelacuran dan pemerkosaan dan berbagai kejahatan lainnya.<br /><br />Namun demikian, agama kristen seringkali memberi keringanan hukuman mati. Daud melakukan perzinahan dan pembunuhan, namun Tuhan tidak menuntut untuk mengambil nyawa Daud. Pada dasarnya agama kristen beranggapan bahwa semua dosa harus diganjar dengan hukuman mati.<br /><br />Jadi jelaslah dalam agama bahwa hukuman mati dapat diberlakukan pada hal-hal tertentu dan Tuhan memberikan otoritas kepada pemerintah melalui gereja untuk menerapkan hukuman mati. Agama memberikan jaminan terlindunginya hak orang lain dengan jalan mengurangi hak seseorang. Yang terpenting adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.<br /><br />3.Perspektif hukum<br />Pengaturan hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia berawal pada zaman kolonial Belanda. Hukuman mati diatur dalam wetboek van strafrecht voor nederlandsch indie dalam Buku I, Bab II tentang pokok-pokok pidana pasal 10 jo Pasal 11. Pidana mati dijatuhkan pada pelanggaran-pelanggaran berat. Namun sejak awal hukum positiv bawaan Belanda tidak menjamin HAM terutama bagi orang pribumi.<br /><br />Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.<br /><br />Apakah ketika hukum mengatur mengenai hukuman mati maka hukum dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Padahal UUD 1945 sebagai konstitusi sebagai penjamin hak-hak dasar warganegara telah mengatur mengenai HAM. Tentu saja pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan sepenuhnya walaupun peraturan itu sendiri mengandung potensi untuk menjadi kriminogen.<br /><br />Hukum secara jelas mengatur hukuman mati. Hukuman mati diadakan karena untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Memang arti keadilan bagi setiap orang adalah berbeda-beda. Menurut Gustav Radbruch, hukum memiliki tiga nilai dasar yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.<br /><br />Jika kita melihat teori dari Gustav Radbruch di atas hukuman mati sudah dibakukan dalam peraturan yang berbentuk undang-undang sehingga hukuman mati memilik kepastian hukum karena kekuatan undang-undang. Kekuatan undang-undang bersifat mengikat terhadap setiap warganegara. Sehingga setiap warga negara harus mengakui adanya eksistensi hukuman mati di Indonesia. Melihat dari nilai kedua yaitu keadilan pelaksanaan hukuman mati sendiri memiliki berbagai sudut pandang. Ada yang berpendapat hukuman mati telah memenuhi rasa keadilan dan ada pula yang menganggap bahwa hukuman mati tidak adil. Hukuman mati dikatakan telah memenuhi rasa keadilan karena hukuman mati dijatuhkan kepada mereka yang memang melakukan kejahatan-kejahatan berat yang tidak manusiawi, sehingga hukuman mati dianggap sebagai hukuman yang setimpal dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.<br /><br />Sedangkan hukuman mati dianggap tidak adil, karena hukuman mati dianggap melanggar HAM karena telah merampas hak hidup seseorang dan berarti hukuman mati dianggap telah sewenang-wenang karena tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang melakukan kejahatan yang cukup berat untuk memperbaiki diri. Dan jika dilihat dari nilai yang ketiga, yaitu kemanfaatan maka hukuman mati dianggap bermanfaat karena dapat mengurangi tindak kejahatan dengan adanya efek jera sehingga tercipta ketertiban di masyarakat.<br /><br />Hal diatas sesuai dengan tujuan hukum menurut Van Apeldorn, yaitu hukum bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup secara damai dan menurut Aristoteles hukum bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan.<br /><br />c.Pelaksanaan hukuman mati<br />Hukuman mati diatur dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Dalam KUHP ada pengaturan penjatuhan pidana mati pada pasal 10 jo pasal 11. Penjatuhan hukuman mati juga diatur dalam undang-undang yang lain :<br /><br />UU No.22/1997 tentang Narkotika;<br />UU No.5/1997 tentang Psikotropika;<br />UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM;<br />UU No.31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan;<br />UU No.1/2002 tentang tindak pidana korupsi;<br />UU Anti terorisme dan perpu No. 1 tahun 2002; dan<br />Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UU No 5 Tahun 1969<br /><br /><br />Banyak kasus yang telah dijatuhi hukuman mati seperti kasus Tibo, cs. Dalam pelaksanaan vonis hukuman mati tersebut banyak terjadi pro-kontra di dalam masyarakat. Dalam masyarakat banyak pihak yang menentang pelaksanaan eksekusi mati. Bahkan untuk kasus Tibo ribuan umat beragama dari berbagai daerah menuntut pembatalan eksekusi mati.<br /><br />Pelaksanaan hukuman mati diatur dalam Penpres Nomor 2 Tahun 1964 pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati. Pelaksanaan hukuman mati tidak dilakukan di muka umum, terpidana dikawal oleh polisi dan dapat juga didampingi oleh perawat rohani, terpidana ditutup matanya dengan sehelai kain namun bila terpidana tidak menghendaki dapat juga tidak ditutup matanya. Setelah itu dilakukan penembakan oleh regu penembak dengan aba-aba yang diberikan oleh komandan regu, senapan diarahkan tepat ke jantung terpidana. Jarak tembak minimal 5 meter dan maksimal 10 meter. Jika terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka salah satu regu penembak diperintahkan untuk menempelkan laras senapan di kepala terpidana tepat diatas telinganya dan memberikan tembakan sebagai tembakan terakhir.<br /><br />Jika dikaitkan dengan sila ke-2 Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan “hak hidup” setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945, pelaksanaan hukuman mati dianggap telah merampas hak hidup dan dari sisi kemanusiaannya dianggap tidak adil, karena telah merampas hak hidup seseorang yang oleh konstitusi jelas-jelas disebutkan bahwa hak hidup seseorang itu tidak dapat dan tidak boleh dirampas ataupun dikurangi dalam keadaan apapun. Namun, hukuman mati tetap dilaksanakan guna melindungi hak-hak kemanusiaan orang lain.<br /><br />Banyak konteroversi yang menyeruak ke permukaan di masyarakat mengenai hukuman mati. Ada yang setuju dan ada yang menolak. Yang setuju menyatakan bahwa hukuman mati dapat menimbulkan deterrence effect (efek jera) terhadap masyarakat. Lain halnya dengan pihak yang menggugat hukuman mati. Mereka beranggapan bahwa hukuman mati di Indonesia tidak efektif dan lebih mendekatkan pada teori pembalasan pidana (vergeldingstheorie)3. Padahal pidana adalah sebagai langkah terakhir dalam menertibkan masyarakat, dan dalam penjatuhannya harus mempertimbangkan secara mendalam agar tidak terjadi kesalahan.<br /><br />Yang menjadi masalah di Indonesia adalah ketika penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak terpidana mati mengalami ketidakjelasan nasib. Walaupun telah mendapatkan vonis mati namun eksekusi tidak kunjung dijalankan sampai bertahun-tahun. Hal seperti itu malah menimbulkan penderitaan baru bagi para terpidana. Mengingat yang akan dihadapinya adalah kematian.<br /><br />Dengan adanya pelaksanaan hukuman mati maka dapat menciptakan ketertiban di dalam masyarakat karena apabila tidak ada hukuman mati maka akan terjadi keresahan di masyarakat. Hal ini mungkin saja terjadi karena terpidana yang seharusnya dihukum mati, apabila tidak dihukum mati dikhawatirkan jika ia kembali ke masyarakat dapat mengulangi perbuatannya kembali dan mungkin saja semakin parah.<br /><br />d.Alternatif hukuman<br />Berdasarkan UDHR disebutkan bahwa tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina4. Hukuman mati dapat dikatakan sebagai hukuman yang kejam bagi para pegiat HAM. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Sudut pandang mengenai hukuman mati bagi tiap orang berbeda-beda.<br /><br />Eksekusi hukuman mati di berbagai negara di dunia dilakukan dengan berbagai cara sepeti pancung kepalayang dilakukan oleh Saudi Arabia dan Iran; sengatan listrik yang diterapkan Amerika Serikat; digantung sebagaimana praktek Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura; suntik mati yang diberlakukan Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS; tembak mati yang juga diberlakukan Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain; serta hukum rajam yang ada di Afganistan, Iran 5. Amerika sebagai negara yang selalu mengangungkan hak asasi manusia sendiri masih melaksanakan hukuman mati.<br /><br />Menyikapi adanya pidana mati muncul beberapa wacana untuk melakukan penghapusan ataupun perubahan terhadap tata cara hukuman mati. Terlalu riskan untuk mengambil tindakan menghapuskan hukuman mati, karena resiko yang akan timbul bila hukuman mati dihapuskan akan semakin besar. Hal itu dapat diibaratkan sebagai kemenangan bagi para pelaku tindak pidana. Untuk itulah jika ingin menghapuskan hukuman mati harus ada alternatif hukuman pidana yang sama beratnya dengan hukuman mati agar dapat menimbulkan efek jera dan perbuatan tersebut tidak terjadi lagi.<br /><br />Oleh karena itu menurut hemat kami hukuman mati harus tetap dilaksanakan namun dengan perubahan tatacara agar tidak menimbulkan rasa sakit dan penderitaan yang hebat bagi terpidana. Perubahan tatacara hukuman mati dapat dilakukan dengan cara seperti suntik mati. Suntik mati yang dilakukan harus memiinimalkan rasa sakit yang akan muncul. Suntik mati yang dilakukan bisa diawali dengan pemberian obat psikotropika seperti heroin dengan dosis yang menimbulkan halusinasi. Sehingga terpidana tidak akan merasakan sakit, dan eksekusi tersebut tidak menimbulkan penderitaan.<br /><br />Ada pula yang menganggap bahwa sebaiknya hukuman mati digantikan dengan hukuman penjara seumur hidup. Namun hal ini justru menimbulkan penderitaan yang lebih berat bagi terpidana, secara fisik atau psikis. Kami menganggap wacana penggantian dengan pidana seumur hidup tidak relevan dan justru lebih melanggar HAM. Dapat dibayangkan jika Ayodya P Chaubey yang berumur 67 tahun, bila dia di jatuhi hukuman seumur hidup maka dapat dibayangkan pula derita yang dia alami dinginnya lantai penjara, kerasnya kehidupan di penjara, melakukan kerja rutin, dll. Alangkah lebih baik jika negara mengurangi derita hidupnya dengan vonis mati.<br /><br />Dapat disimpulkan hukuman mati mengundang kontrofersi. Ada banyak pihak yang menginginkan hukuman mati dihapuskan. Melalui berbagai instrumen hukum internasional seperti UDHR dan protokol tambahannya, hukuman mati ingin dihapuskan dari muka bumi.<br />Namun sifat HAM yang partikular menganggap bahwa hukuman mati masih diperlukan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi warga negara lain. Bila hukuman mati ingin tetap dipertahankan maka harus melakukan beberapa perubahan dalam cara pelaksanaannya, sehingga hukuman mati dapat efektif menimbulkan efek jera.<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-56973201100989300962010-01-08T19:52:00.005+07:002010-01-08T19:53:22.248+07:00PASAR MODAL SEBAGAI LAHAN MONEY LAUNDERINGProses Pencucian uang sangat mungkin melibatkan banyak institusi keuangan, dengan berbagai macam transaksi yang sangat rumit. Beberapa tipe transaksi di atas hanya sebagian tindakan yang mungkin dilakukan oleh Pelaku tindak pencucian uang. Untuk meminimalisir hal-hal tersebut memerlukan kerja sama yang sangat baik antar lembaga pengawas jasa keuangan dengan PPATK.<br /><div class="fullpost"><br /><br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-14487716452179192052010-01-08T19:52:00.003+07:002010-01-08T19:52:44.553+07:00PENANGANAN TINDAK PIDANA TERORISMEbahwa penerapan UU Nomor 15 tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia para tersangka pelaku tindak pidana terorisme.<br /><div class="fullpost"><br /><br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-24183409083185424552010-01-08T19:51:00.002+07:002010-01-08T19:51:55.836+07:00UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN CUBERCRIME DI INDONESIASaat ini, penyalahgunaan jaringan internet di Indonesia sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Akibatnya, Indonesia dijuluki sebagai negara kriminal internet. Bahkan Indonesia masuk dalam peringkat 10 besar pelanggaran internet terbesar di dunia.Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-1379579020162269392010-01-08T19:50:00.000+07:002010-01-08T19:51:10.310+07:00RINGKASAN HUKUM PIDANA TENTANG PERCOBAAN, PENYERTAAN GABUNGAN TINDAK PIDANA ( 2P2G )TUGAS PERCOBAAN, PENYERTAAN GABUNGAN TINDAK PIDANA ( 2P2G )<br /><br />PENYERTAAN (DEELNEMING/COMPLICITY)<br />Penyertaan Menurut KUHP<br />Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu :<br />a. Pembuat/Dader (Pasal 55) yang terdiri dari :<br />1) pelaku (pleger);<br />2) yang menyuruhlakukan (doenpleger);<br />3) yang turut serta (medepleger);<br />4) penganjur (uitlokker).<br /><br />b. Pembantu/Medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri dari :<br />1) pembantu pada saat kejahatan dilakukan;<br />2) pembantu sebelum kejahatan dilakukan.<br /><br />1. Pelaku (Pleger)<br />Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan.<br />1. Orang yang bertanggungjawab (peradilan Indonesia);<br />2. Orang yang mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang terlarang, tetapi membiarkan keadaan yang dilarang berlangsung. (peradilan belanda);<br />3. Orang yang berkewajiban mengakhiri keadaan terlarang (pompe);<br />Pengertian pembuat menurut pakar :<br />a. Tiap orang yang melakukan/menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan delik ((MvT), Pompe, Hazewinkel Suringa, van Hattum, Mulyatno);<br />b. Orang yang melakukan sesuai dengan rumusan delik (pembuat materiil), mereka yang tersebut dalam pasal 55 KUHP hanya disamakan saja dengan pembuat (HR, Simons, van Hamel, Jonkers).<br /><div class="fullpost"><br />Kedudukan pleger dalam pasal 55 KUHP : Janggal karena pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya (pelaku tunggal) dapat dipahami :<br />• pasal 55 menyebut siapa-siapa yang yang disebut sebagai pembuat, jadi pleger masuk didalamnya) (Hazewinkel Suringa);<br />• Mereka yang bertanggungjawab adalah yang berkedudukan sebagai pembuat (Pompe)<br />2. Orang yang menyuruh lakukan (Doenpleger)<br />Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).<br />Unsur-unsur pada doenpleger adalah:<br />a. alat yang dipakai adalah manusia;<br />b. alat yang dipakai berbuat;<br />c. alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.<br /><br />Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiel) tidak dapat dipertanggungjawabkan, adalah:<br />a. bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (Pasal 44);<br />b. bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48);<br />c. bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 (2));<br />d. bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu unsur delik;<br />e. bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan ybs.<br /><br />Jika yang disuruhlakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur maka tetap mengacu pada Pasal 45 dan Pasal 47 Jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.<br /><br />3. Orang yang turut serta (Medepleger)<br />Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengejakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.<br />Turut mengerjakan sesuatu, yaitu :<br />1. mereka memenuhi semua rumusan delik;<br />2. Salah satu memenuhi semua rumusan delik;<br />3. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.<br />Syarat adanya medepleger, antara lain :<br />a. ada kerjasama secara sadar kerjasama dilakukan secara sengaja untuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang.<br />b. ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik ybs.<br />Kerjasama secara sadar :<br />1. Adanya pengertian antara peserta atas suatu perbuatan yang dilakukan;<br />2. Untuk bekerjasama;<br />3. Ditujukan kepada hal yang dilarang oleh undang-undang.<br /><br />Kerjasama/pelaksanaan bersama secara fisik : Kerjasama yang erat dan langsung atas suatu perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan.<br />4. Penganjur (Uitlokker)<br />Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan (Pasal 55 (1) angka 2 KUHP).<br /><br />Penganjuran (uitloken) mirip dengan menyuruhlakukan (doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara.<br />Namun perbedaannya terletak pada :<br />a. Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruhlakukan menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan;<br />b. Pada penganjuran, pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan pembuat materiel tidak dapat dipertanggungjawabkan.<br />Pergerakan menurut doktrin, antara lain :<br />a. ¬Penggerakan yang sampai taraf percobaan (Uitlokking bij poging);<br />b. Penggerakan dimana perbuatan pelaku hanya sampai pada taraf percobaan saja;<br />c. ¬Penggerakan yang gagal (mislucke uitlokking);<br />d. Pelaku tadinya tergerak untuk melakukan delik namun kemudian mengurungkan niat tersebut;<br />e. ¬Penggerakan tanpa akibat (zonder gevold gebleiben uitlokking);<br />f. Pelaku sama sekali tidak tergerak untuk melakukan delik.<br />Syarat penganjuran yang dapat dipidana, antara lain :<br />a. ada kesengajaan menggerakkan orang lain;<br />b. menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP;<br />c. putusan kehendak pembuat materiel ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut;<br />d. pembuat materiel melakukan/mencoba melakukan tindak pidana yang dianjurkan;<br />e. pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan Penganjuran yang gagal tetap dipidana berdasarkan Pasal 163 KUHP.<br /><br />5. Pembantuan (Medeplichtige)<br />Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis :<br />a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Ini mirip dengan medeplegen (turutserta), namun perbedaannya terletak pada:<br />1) pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan;<br />2) pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turutserta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri;<br />3) pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana;<br />4) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.<br />b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).<br /><br />Perbedaannya pada niat/kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula/tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.<br /><br />Pertanggungjawaban Pembantu<br />Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.<br />Namun ada beberapa catatan pengecualian :<br />a. pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana:<br />- membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 (4)) dengan cara member tempat untuk perampasan kemerdekaan,<br />- membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat (Pasal 415),<br />- meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).<br />b. pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu tindak pidana:<br />- membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 (3)),<br />- dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349).<br /><br />Sedangkan pidana tambahan bagi pembantu adalah sama dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3)) dan pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.<br /><br />Penyertaan yang tak dapat dihindarkan (Noodzakelijke Deelneming / Necessary Complicity)<br />Penyertaan yang tak dapat dihindarkan terjadi apabila tindak pidana yang dilakukan tidak dapat terjadi tanpa adanya penyertaan dengan orang lain. Jadi tindak pidana itu terjadi kalau ada orang lain sebagai penyerta.<br />Delik-delik yang termasuk dalam kategori ini adalah :<br />a. menyuap/membujuk orang lain untuk tidak menjalankan hak pilih (Pasal 149);<br />b. membujuk orang lain untuk masuk dinas militer negara asing (Pasal 238);<br />c. bigami (Pasal 279);<br />d. perzinahan (284);<br />e. melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah 15 tahun (Pasal 287);<br />f. menolong orang lain untuk bunuh diri (Pasal 345).<br /><br />CONTOH KASUS PENYERTAAN<br /><br />Sidang Korupsi : Vonis Ketua KPU Dibacakan Hari Ini<br />(Jakarta, 14 Desember 2005 09:46)<br /><br />Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi perkara korupsi Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membacakan vonis bagi terdakwa Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, Rabu di Jakarta. Majelis Hakim yang diketuai oleh Kresna Menon direncanakan membuka persidangan pada pukul 09.00 WIB.<br />Pada persidangan yang berlangsung Rabu 16 November 2005, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nazaruddin Syamsuddin delapan tahun enam bulan penjara dalam kasus dugaan korupsi di KPU terkait pelaksanaan Pemilu 2004.<br />"Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi melakukan perbuatan yang diatur dalam dakwaan kesatu primer, JPU menggunakan pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20/2001 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana dengan melakukan tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara," kata Tumpak Simanjuntak salah satu anggota tim JPU saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, minggu lalu.<br />Selain melanggar pasal tersebut, kata JPU, terdakwa juga dianggap telah melanggar pasal 11 UU No31/1999 jo UU 20/2001 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana Jo pasal 64 KUH Pidana sebagai dakwaan kedua primer.<br />"Kami juga menuntut agar Majelis Hakim menghukum terdakwa membayar denda sebesar Rp450 juta subsider enam bulan penjara, dan membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp14,1 miliar yang ditanggung renteng dengan terdakwa dalam kasus yang sama yaitu Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin," ujar Tumpak.<br />Bila Nazaruddin tidak dapat membayar uang ganti rugi itu maka pidana penjara akan ditambah selama empat tahun. Pada dakwaan pertama primer unsurnya adalah setiap orang secara melawan hukum melakukan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara dan perekonomian. Sedangkan unsur dalam dakwaan kedua primer adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah yang maka hadiah itu berkaitan dengan kekuasaan atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatan. Sementara pasal 55 ayat (1) ke 1 mengenai penyertaan dalam tindak pidana dan pasal 64 KUHP mengenai perbuatan berlanjut.<br />Pada sidang yang berlangsung Jumat 25 November 2005 Nazaruddin Sjamsuddin dalam nota pembelaan yang dibacakannya mempertanyakan dasar dakwaan dan tuntutan kepada dirinya.<br />"Saya kaget bahwa dakwaan yang ditujukan kepada saya berhubungan dengan pengadaan asuransi. Apa yang terjadi sebenarnya adalah bahwa pleno KPU telah menyetujui anggaran untuk asuransi," kata Nazaruddin Sjamsuddin.<br />Sementara mengenai dakwaan perihal pengumpulan dana dari rekanan, dosen ilmu politik Universitas Indonesia itu menyatakan bahwa KPU tidak pernah mengadakan rapat pleno untuk mengatur cara-cara di luar aturan perundangan-undangan agar dana anggaran KPU dapat turun dengan mudah atau lancar.<br />"Pleno tidak pernah mempengaruhi rekanan pemenang tender. Pleno berbicara tentang spesifikasi kebutuhan yang diinginkan dan harga yang wajar," tambahnya.<br />Dalam bagian lain dari pledoinya, Nazaruddin mengaku merasa sedih karena semua kerja keras yang dilakukannya bersama anggota KPU untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilu,-- yang dinilai pihak luar negeri berhasil-- justru berujung musibah bagi institusi yang dipimpinnya. [TMA, Ant]<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-72005229461489114932010-01-08T19:47:00.001+07:002010-01-08T19:49:16.561+07:00TUGAS HUKUM WARIS ADATABSTRAK HUKUM PUTUSAN MAHAKAMAH AGUNG RI<br /><br />KASUS :HARTA PENINGGALAN WARISAN ORANG YANG BERISTRI DUA<br /><br />KASUS POSISI :<br />• Seorang pria, A. Bakar ( alm ), menikah dengan wanita Hadijah, yang kemudian mempunyai anak – anak.<br />• Bakar menikah lagi dengan seorang wanita Mariyam, yang mejadi istri keduanya dan mempunyai anak – anak.<br />• Kemudian A. Bakar meninggal dunia dan meninggalkan 2 ( dua ) orang istri dan anak – anak hasil perkawinan dari kedua istrinya. Dan setelah itu istri pertama A. Bakar ( Hadijah ) meninggal dunia dan meninggalkan anak – anak. Kemudian harta warisan A. Bakar diagi – bagikan dan Mariyam sebagai istri kedua merasa harta yang telah dibagikan untuknya tidak sesuai,<br />• Karena melalui musyawarah dengan istri pertama ( Hadijah alm ) dan anak – anaknya tidak dapat menyelesaikan masalah dalam untuk penyelesaian pembagianharta warisan A. Bakar almarhum, maka melalui Penasehat Hukumnya, Mariyam melakukan gugatan perdata terhadap Hadijah Alm dan anak – anaknya ke Pengadilan Negeri.<br /><br />Pengadilan Negeri Dompu :<br />• Dalam putusannya, harta Peninggalan alm A. Bakar , dibagi dua bagian yang sama rata dengan perincian yaitu :<br />a. Hadijah Alm, istri pertama ( A. Bakar Alm ) memperoleh setengah bagian dan bagian ini adalah hak anak – anaknya ( Tergugat );<br />b. A. Bakar alm memperoleh setengah bagian dan bagian ini meruakan hak dari Mariyam, istri kedua dan anak – anaknya ( Penggugat ).<br />• Dalam melakukan pembagian harta warisan ini, harus diutamakan fungsi musyawarah dan kerukunan dalam keluarga mengingat tujuan warisan adalah untuk kelanjutan hidup para ahli warisnya.<br />• Adalah Adil, bila bagian yang sudah diterima diperhitugkan dalam pembagia harta warisan ini.<br /><div class="fullpost"><br />Pengadilan Tinggi Mataram :<br />• Dalam putusannya memperbaiki putusan Hakim Pertama dengan memutuskan bahwa Harta Peninggalan A. Bakar alm harus dibagi menjadi 7 ( tujuh ) bagian yang sama rata, yaitu :<br />a. Penggugat memperoleh 4 bagian;<br />b. Tergugat memperoleh 3 bagian.<br /><br />Mahkamah Agung RI :<br />• Dalam putusan kasasinya telah membatalkan putusan jutex facti, karena dinilai telah salah menerapkan hokum dengan memberikan putusan sendiri, yang enyatakan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima, dengan pertimbangan hokum yang pada intinya :<br />a. Bahwa yang digugat oleh Panggugat dalam kasusu ini adalah harta gono-gini A. Bakar dengan istrinya yang pertama ( Hadijah Alm );<br />b. Bahwa menurut hokum adat, Penggugat sebagai istri kedua tidak mempunyai hak atas harta gono-gini anatara suaminya dengan istri pertama, karena harta gono-gini tersebit merupakan hak dari istri pertama dengan anak – anaknya.<br /><br />Abstrak Hukum :<br />• Janda adalah ahli waris almarhum suaminya yang kedudukannya sejajar dengan ahli waris anak – anak. Karena itu Janda merupakan ahli waris dalam kelompok keutamaaan bersama dengan anak – anaknya.<br />• Namun, hal tersebut mempunyai 2 konsekuensi, yaitu :<br />a. Bila janda itu tidak mempunyai keturunan, maka janda itu menutup keahli warisan kelompok penggantinya, yaitu oleh saudara almarhum suaminya. Oleh karena itu janda tersebut berhak atasharta peninggalan suaminya baik harta pencaharian atau harta asal;<br />b. Bila janda itu meninggal dunia dan mempunyai keturunan, maka harta peninggalannya dibagikan kepada keturunannya tersebut;<br /><br />ANALISIS :<br />• Dalam system parental, dimana anak – anak adalah ahli waris dan ibunya adalah janda dari almarhum bahwa anak – anaknya dan ibu mendapat bagian yang sama rata atas harta warisan yang ditinggalkan oleh Almarhum ( Buku Hilman Hadikusumah, S.H – Hal 89 );<br />• Dan dikarenakan alm A. Bakar menikah lagi dan meninggalkan anak sah dari pernikahannya itu, maka harta peninggalan campur kaya yang dikuasai Janda yang pertama tidak dibagikan kepada istri kedua dan anak – anaknya karena harta tersebut milik harta gono–gini suaminya dengan istri pertama dan anak – anak dari istri pertama yang sah itu dengan yang mendapat harta campur kaya yang sama rata dengan ibunya tetapi karena Hadijah telah meninggal dunia hak itu tetap jtuh kepada anak – anaknya.<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-83362672890891631652010-01-08T19:46:00.001+07:002010-01-08T19:47:06.879+07:00TUGAS ANASIS KASUS HUKUM PIDANA MILITERTUGAS ANASIS KASUS HUKUM PIDANA MILITER<br /><br />Empat Anggota TNI Iskandar Muda Aceh ditahan<br />Kamis, 29 Maret 2007 | 15:45 WIB<br />TEMPO Interaktif, Jakarta : Empat anggota Batalyon 113 Jaya Sakti Komando Daerah Militer Iskandar Muda, ditahan di markas Polisi Militer setempat. Mereka diduga melakukan penganiayaan terhadap warga Kecamatan Nisam, Aceh Utara, pada 20 Maret lalu. "Komandan kompinya sudah dinonaktifkan," ujar Kepala Staf Angkatan Darat Jendral Djoko Santoso, usai pembukaan Apel Komandan Satuan di lingkungan Angkatan Darat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Cilodong, Depok, Jawa Barat, Kamis (29/3).<br /><br />Djoko mengaku sudah memerintahkan Palima Kodam Iskandar Muda untuk menghukum anggotanya yang melakukan tindakan indisipliner. "Kami juga berharap pihak-pihak lain yang melakukan tindak kekerasan kepada anggota TNI Angkatan Darat ditindak secara hukum yang berlaku," ujarnya.<br /><div class="fullpost"><br /> Dalam keterangan terpisah, juru bicara Kodam Iskandar Muda, Mayor Dudi Zulfadli, mengatakan bahwa insiden terjadi ketika empat anggota TNI Angkatan Darat berpakaian preman, melakukan pengamanan di sekitar proyek pembangunan Sekolah Dasar Alue II, Kecamatan Nisam,Aceh Utara.<br /><br />Dia mengakui kalau keempat tentara itu membawa senjata yang sudah dalam keadaan terlucuti. "Masyarakat di sana menganggap anggota kami itu adalah petugas intelejen," ujarnya ketika dihubungi lewat telepon selularnya.<br /><br />Kecurigaan masyarakat itu kemudian berbuah pada penangkapan dan pengeroyokan keempat orang tentara itu. Merasa tak terima dengan perlakukan itu, keesokan harinya, mereka menyerbu kampung untuk mencari para pengeroyok. Setelah ditemukan, mereka memukulinya. "Saya berharap kejadian ini adalahyang terakhir," ujar Djoko. (Raden Rachmadi)<br />Kasus dikaitkan dalam Perkuliahan Hukum Pidana Militer :<br />Dalam kasus diatas dapat dikaitkan dengan bahan perkuliahan hokum pidana militer :<br />- Kasus diatas termasuk didalam tindak pidana umum yang diatur didalam KUHP dikarenakan didalam KUHPM hanya mengenal penganiayaan terhadap atasan tetapi terhadap orang sipil, maka angkatan yang melakukan tindak pidana tersebut dijatuhi dengan Pasal 352 KUHP.<br /><br />- Digunakan Pasal 352 KUHP dikarenakan didalam Pasal 1 KUHPM “Untuk penerapan Kitab UU ini berlaku ketentuan hokum pidana umum, termasuk BAB IX dari Buku Pertama KUHP, kecuali ada penyimpangan yang ditetapkan UU”, yang kemudian dikaitkan dengan Pasal 103 KUHP yang dimana pasal tersebut untuk menjembatani berlakunya KUHP (Buku I) terhadap ketentuan pidana diluar KUHP, kecuali telah ditentukan dalam UUlain.<br /><br />Menodong, Suntiyanto Dipecat dari TNI<br />Kamis, 01 Maret 2007<br />Suara Merdeka, SEMARANG - Prajurit Kepala (Praka) Suntiyanto, pelaku tindak pidana penodongan, penganiayaan, dan kepemilikan senjata api ilegal, divonis dua tahun penjara oleh PengadilanMiliter II-10 Semarang, Selasa (28/2).<br />Dia yang bertugas sebagai tamtama pengemudi di Oditorat Militer Tinggi III/Surabaya itu juga dipecat dari dinas kesatuan Tentara Nasional Angkatan Darat. Putusan tersebut lebih berat dibanding tuntutan Oditur Militer Mayor Sus Mukseno, yang meminta majelis hakim menjatuhkan pidana penjara satu tahun lebih delapan bulan dipotong masa tahanan.<br />Vonis dibacakan Ketua Majelis Hakim Kolonel CHK Riza Thalib dan dua hakim anggota Mayor CHK Muh Mahmud, didampingi Kapten CHK M Suyanto dan panitera Letnan Satu Joko Trianto.<br />Majelis hakim menyatakan, Suntiyanto pantas mendapatkan hukuman berat. Itu juga dapat menjadi cambuk bagi diri terdakwa dan prajurit lainnya agar tidak melakukan tindakan serupa. Perbuatan terdakwa telah mencoreng citra TNI AD. Karenanya, terdakwa tidak pantas dipertahankandari kesatuan TNI AD.<br />Hal lain yang memberatkan terdakwa adalah, yang bersangkutan pernah dihukum enam bulan penjara, karena mencuri motor di Jakarta pada 1998, namun tidak juga jera melakukan pelanggaran hukum.<br />Ditambah lagi, terdakwa disersi dari dinas sejak Februari 2006, karena lari dari tanggung jawab dari seorang perempuan asal Surabaya bernama Indah Suci Rahayu asal Surabaya, yang memintainya menikahi, lantaran dihamili.<br />Sebelumnya, yang bersangkutan juga pernah menghamili Qolbiyati, warga Cepu, Blora, pada 2005. Namun dia tidak mau menikahi. Ihwal penodongan dengan senjata ilegal terjadi pada 3 September 2006.<br />Ketika itu, terdakwa bertemu dengan Udi Utomo (orang tua Qolbiyati) di pinggir Jalan Mandan, Desa Peting, Blora. Udi menanyakan keseriusan terdakwa menikahi Qolbiyati. Mendapat pertanyaan Udi, terdakwa marah dan menghajar Udi. Setelah itu, terdakwa pergi. Beberapa menit kemudian, dia kembali ke lokasi kejadian pemukulannya terhadap Udi untuk mengambil slayernyayang ketinggalan.<br />Di lokasi tersebut, Udi bertemu dengan Wibisono, petugas kepolisian setempat. Wibisino menyinggung soal pemukulan yang dilakukan terdakwa kepada Udi. Pria yang tinggal di Jalan Bunderan Tol Waru Surabaya itu justru naik pitam dan mengacungkan pistol rakitan ke arah Wibisono yang langsung ketakutan.<br />Bahagiakan Orang Tua<br />Sebelum majelis hakim menjatuhkan vonis, Suntiyanto mengatakan, "Mohon saya diberi kesempatan untuk kembali ke dinas. Karena secara pribadi, saya dipercayaorang tua untuk bisa membahagiakan mereka sebagai anggota TNI."<br />Permohonan itu dijawab Ketua Majelis Hakim Kolonel CHK Riza Thalib dengan pertanyaan, "Apakah untuk bisa membahagiakan orang tua itu harus menjadi anggota TNI? Kan bisa dengan cara lain. Jadi kamu ini masuk TNI hanya karena ingin membahagiakan orang tua ya?"<br />Pria yang ditahan sejak 9 September 2006 itu pun menjawab, alasan tersebut bukanlah satu-satunya.<br />Masih ada alasan lain, yaitu dirinya ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Penasihat hukumnya, Agus Sasongko SH meminta, majelis hakim agar melepaskan kliennyadari segala dakwaan dan tuntutan. (H30-46)<br /><br />Kasus dikaitkan dalam Perkuliahan Hukum Pidana Militer :<br />- Kasus diatas dilakukan oleh seorang Angkatan dengan berkali-kali mengulang suatu Tindak Pidana. Diantara yaitu :<br />a. Melakukan tindak pidana Pencurian dilingkup masyarakat : divonis 6 bulan penjara (Pasal 362 KUHP)<br />b. Melakukan tindakan disersi (Pasal 87 KUHPM) dikarenakan lari dari tanggung jawab menikahi seorang wanita<br />c. Melakukan tindakan pemukulan yang tergolong dalam tindakan penganiayaan terhadap orang sipil (Pasal 352 KUHP)<br />d. Melakukan tindakan penodongan, penganiayaan (Pasal 352 KUHP) dan kepemilikan senjata api illegal (Pasal 145 KUHPM)<br />Dengan adanya tindak pidana yang dilakukan berkali-kali oleh seorang angkatan tersebut maka dia terkena concorsus terhadap semua tindakan pidana yang dilakukannya.<br />Sehingga dari putusan pengadilan militer semarang memberikan vonis 2 tahun penjara untuk tersangka.<br /><br /><br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-25892499517743245322010-01-08T19:44:00.001+07:002010-01-08T19:45:59.458+07:00“Analisa kasus pidana yang terkait pasal 55 KUHP dan 56 KUHP”Perkara Pidana No.1426/Pid.B/2003/PN.PST a.n. Bambang Harymurti,<br />Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan Tempo<br /><br />Penasihat Hukum; Todung Mulya Lbs, Darwin Aritonang, Yogi S.M, dkk<br /><br />Kasus Posisi:<br />Pada tanggal 10 Maret 2003, Tomy Winata telah mengadukan pimpinan redaksi atau penanggung jawab Majalah TEMPO dengan dugaan telah melakukan tindak pidana fitnah dan atau pencemaran nama baik kepada Polda Metro jaya. Tindak pidana yang dipersangkakan dalam laporan polisi tersebut adalah fitnah dan atau pencemaran nama baik sesuai dengan Pasal 310 KUHP dan 311 KUHP.Tomy Winata yang mendalilkan dirinya sebagai pihak yang menjadi korban dalam pemberitaan majalah berita mingguan TEMPO edisi tanggal 3-9 Maret 2003 khususnya pada berita dengan judul “Ada Tomy di ‘Tenabang’?”.<br />Kemudian, pada tanggal 11 Maret 2003 sekitar jam 10.00 WIB, Tomy Winata diperiksa sebagai saksi pelapor/pengadu. Keterangan Tomy tersebut secara singkat adalah:<br />• Bahwa ada kalimat-kalimat dalam berita tersebut yang mengakibatkan saksi merasa difitnah dan nama baiknya dicemarkan, antara lain:<br /><div class="fullpost"><br />a) Konon, Tomy Winata mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 miliar.<br />Proposal sudah diajukan sebelum kebakaran. Sehingga kalimat tersebut saksi merasa dituduh bahwa saksi sudah mengajukan proposal sebelum terjadinya kebakaran, padahal saksi tidak pernah mengajukan proposal.<br />b) Dari musibah kebakaran, Rabu dua pekan lalu Suwarti dan rekan-rekannya mungkin menangguk lebih banyak penghasilan ketimbang sebelumnya, tapi juga: Pemulung Besar”Tomy Winata nantinya. Pengusaha dari Grup Artha Graha ini, kata seorang arsitekk kepada Tempo. Dalam kalimat ini Tempo telah menuduh saksi bahwa saksi disamakan dengan pemulung, yang seolah-olah bahwa akibat dari kejadian kebakaran di Pasar Tanah Abang saksi akan mendapatkan suatu keuntungan.<br />c) Disitu, kios-kios bikinan Tomy rencananya akan dijual Rp. 175 juta per meter persegi dan baru diserahkan ke Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, sedangkan saksi tidak pernah mengajukanproposal apalagi membikin kios di Tanah Abang sehingga dengan menentukan harga Rp. 175 juta permeter persegi ini jelas tidak benar.<br />d) Anda orang keenam yang telepon. Saya belum pernah bicara dengan siapapun, baik sipil, swasta, maupun pemerintah, katanya, geram. Saya ini nggak makan nangkanya (tapi) dikasih getahnya, “kalau (mereka) berani ketemu muka saya tabokin dia. Kalau ada saksi, bukti atau data-data yang mengatakan saya deal duluan, saya kasih harta saya separuhnya.” Sedangkan saksi tidak pernah mengubungi dan tidak pernah ditelpon oleh majalah Tempo.<br />• Akibat pemberitaan tersebut, saksi sebagai pengusaha merasa dicemarkan nama baiknya dan saksi merasa difitnah karena setelah terbitnya pemberitaan tersebut, banyak telepon atauorang yang menemui saksi menanyakan tentang kebenaran berita tersebut, sehingga usaha saksi menjadi terganggu. Selain itu, saksi telah mendapat informasi bahwa ada sekelompok orang yang mengaku dari pedagang Pasar Tanah Abang mengancam akan membunuh saksi sehingga berakibat keselamatan saksi menjadi terancam dan perasaan saksi menjadi resah.<br />Kasus ini menempatkan Bambang Harymurti, T. Iskandar Ali, dan Ahmad Taufik sebagai terdakwa. Namun dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum telah melakukan pemisahan surat dakwaan (splitzing) antara Bambang Harymurti(pemimpin redaksi) dengan T. Iskandar Ali(editor) dan Ahmad Taufik(penulis). Namun terdapat kejanggalan dalam proses pembuatan dakwaan ini. Surat dakwaan bagi ketiga terdakwa dilakukan secara terpisah (splitzing), walaupun dalam praktik hal tersebut dapat saja dilakukan. Tujuan pemisahan surat dakwaan adalah untuk mendapatkan lebih banyak alat bukti. Dalam kasus ini alat buktiyang dapat diajukan cukup banyak, sehingga splitzing tidak perlu dan dinilai berlebihan. Untuk membuat penuntutan secara splitzing harus mengikuti aturan yang telah ditentukan dalam KUHAP. Pasal 142 KUHAP menyatakan bahwa “dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing masing terdakwa secara terpisah”. Ketentuan tersebut menyebutkan kriteria pemisahan perkara dengan mengacu pada Pasal 141 KUHAPyang berbunyi “Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuat dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa perkara dalam hal:<br />a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;<br />b. beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain;<br />c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. “<br />Perkara ini secara jelas telah menempatkan para terdakwa sebagai pelaku atas tindak pidana yang masih memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, sebenarnya tidak ada alasan bagi jaksa untuk memisahkan perkara ini.<br /><br />Dakwaan JPU<br />Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melalui Surat Dakwaan No. Reg. Perk. : PDM-1069/JKTPS/07/2003, tanggal 21 Juli 2003 telah mendakwa Bambang Harymurti dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin Redaksi MajalahTempo, sehubungan dengan Artikel yang diterbitkan oleh Majalah Tempo, dalam Edisi 3/9 Maret 2003 dengan judul : "Ada Tomy Di Tenabang?", dengan dakwaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal XIV ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1, Tahun 1946, Tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 311 (1) Pidana, Pasal 310 (1) KUH Pidana Jo. Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana<br /><br />Kesatu<br />Primair :<br />… menyiarkan suatu berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat, telah menyiarkan berita, dalam Majalah Mingguan Tempo edisi tanggal 3/9 Maret 2003…dst dengan judul “Ada Tommy Di Tenabang”, …dst<br />Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal XIV ayat (1) Undang-Undang no.1 Tahun 1946 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.<br /><br />Subsidair :<br />… menyiarkan suatu berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat, telah menyiarkan berita, dalam Majalah Mingguan Tempo edisi tanggal 3/9 Maret 2003…dst dengan judul “Ada Tommy Di Tenabang”, …dst<br />Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal XIV ayat (2) Undang-Undang no.1 Tahun 1946 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.<br /><br />Kedua<br />Primair :<br />… sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang yang menuduhkan suatu hal, yang maksudnya terang, supaya hal itu diketahui umum, dengan melakukan kejahatan pencemaran yang telah diberikan kesempatan dibuktikan, tidak dapat membuktikan, …dst<br />Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 311 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.<br />Subsidair :<br />… sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang yang menuduhkan suatu hal, yang maksudnya terang, supaya hal itu diketahui umum, …dst<br />Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 310 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.<br />Penggunaan Pasal 55 KUHP<br />Surat dakwaan yang disusun untuk Bambang Harymurti maupun T. Iskandar Ali dan Ahmad Taufik telah mencantumkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP menyatakan bahwa” dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana: Ke-1 merekayang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut melakukan perbuatan;”. Dalam dakwaan tersebut tidak disebutkan secara cermat dalam posisi apa para terdakwa tersebut, apakah sebagaiyang melakukan, menyuruh lakukan atau yang turut serta melakukan. Penjelasan peran yang diambil oleh para terdakwa tentunya akan membuat terang dan jelas dakwaan atas para Terdakwa.<br /><br />Mengenai Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal tersebut berbunyi:<br />(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu;<br /><br />Mengenai Dakwaan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.<br />JPU menjelaskan dengan cara-cara sbb:<br />• Bahwa berdasarkan keterangan saksi Ahmad Taufik, saksi pernah menulis kebakaran tentang Pasar Tanah Abang tanggal 19 Februari 2003 dalam rubrik Nasional Majalah Tempo karena pasar Tanah Abang adalah pasar yang beromzet besar. Kemudian diadakan rapat perencanaan yang dihadiri oleh Terdakwa Bambang Harymurti, saksi Ahmad Taufik, saksi Raden Wahyu Muryadi bertempat di kantor majalah Tempo jalan Proklamasi No. 72 Menteng Jakarta Pusat. Pada rapat itu saksi mengusulkan untuk menindaklanjuti berita tentang kebakaran Pasar Tanah Abang kemudian usul saksi disetujui oleh peserta rapat termasuk terdakwa.<br />• Selanjutnya saksi Ahmad Taufik ditugaskan oleh saksi Raden Wahyu Muryadi untuk mencari sumber berita yang akan diwawancarai. Ahmad Taufik kemudian menugaskan reporter Bernarda Rurit untuk mewawancarai Tomy Winata dan Indra Darmawan untuk mewawancarai H.P. Lumbun selaku Walikota Jakarta Pusat dan saksi Cahyo Junaedi mewawancarai Dani Anwar dan M. Yusup karena dianggap kedua orang tersebut banyak mengetahui permasalahan pasar Tanah Abang. Dari hasil wawancara tersebut, kedua tokoh belum tahu tentang Tomy Winata mengajukan proposal untuk renovasi pasar Tanah Abang.<br />• Bahwa naskah tulisan Ahmad Taufik tersebut diedit oleh T. Iskandar Ali, dengan merlakukan perubahan dari judul “ada Tomy di Tanah Abang” menjadi “Ada Tomy di ‘Tenabang’?”. Dalam paragraf kedua menambah kata “Pemulung Besar” pada nama Tomy Winata, padahal saksi Ahmad Taufik dan T. Iskandar Ali mengetahui bahwa Tomy Winata adalah seorang pengusaha. Kemudian hasil edit tersebut diserahkan ke redaktur bahasa untuk diperiksa tata bahasanya selanjutnya dilakukan rapat dam untuk menentukan penerbitan berita tersebut.<br />• Bahwa terdakwa Bambang Harymurti di depan persidangan menerangkan selaku Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di seluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita. Pada rapat dami tersebut terdakwa Bambang Harymurti menyetujui tulisan Ahmad Taufik yang sudah diedit oleh T. Iskandar Ali tanpa meneliti kebenaran naskah berita tersebut. Hal tersebut menurut ahli Dr. Rudy Satriyo, SH.MH sudah ada unsur kesengajaan.<br />• Bahwa karena adanya persetujuan dari Terdakwa Bambang Harymurti, maka berita dengan judul “Ada Tomy di ‘Tenabang’?” dengan foto Tomy Winata dimuat dan dicetak dalam Majalah Berita Mingguan Tempo edisi 3-9 Maret 2003 kemudian dijual kepada umum.<br />• Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, diterbitkannya tulisan dengan judul “Ada Tomy di ‘Tenabang’?” dalam Majalah Berita Mingguan Tempo edisi 3-9 Maret 2003 halaman 30-31 karena adanya perbuatan kerjasama yang nyata antara Terdakwa Bambang Harymurti dengan saksi Ahmad Taufik dan saksi T. Iskandar Ali (keduanya sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri). Dengan demikian, JPU menyatakan unsur bersama-sama telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Disini JPU melupakan beberapa hal dalam pembuktian unsur ini, yaitu termasuk dalam menentukan termasuk dalam kategori pelaku manakah terdakwa Bambang Harymurti?<br />Apakah sebagai mereka yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (plegen), mereka yang menyuruh orang lain melakukan suatu perbuatan pidana (doen plegen), mereka yang turut serta/ bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana (medeplegen)?<br /><br />Terhadap “Unsur Dilakukan secara bersama-sama” (pasal 55 ayat (1) KUHP)<br />Majelis Hakim dalam berkesimpulan bahwa unsur ini telah terpenuhi, dengan pertimbangan bahwa:<br />- Bahwa selaku Pemimpin Redaksi dalam menjalankan tugasnya, terdakwa dibantu oleh beberapa tenaga teknis maupun tenaga administrasi perusahaan pers, diantaranya dewan redaksi, jurnalis (wartawan), editor, divisi-divisi (iklan, pemasaran, keuangan) sampai pada tingkat loper;<br />- Bahwa satu minggu sebelum terbit majalah Tempo Edisi 3-9 maret 2003, diadakan rapat perencanaan yang dihadiri oleh Terdakwa Bambang Harymurti, saksi Ahmad Taufik, saksi Raden Wahyu Muriadi bertempat di Kantor Majalah Tempo Jalan Proklamasi No. 72 Menteng Jakarta Pusat, pada rapat itu saksi Ahmad Taufik mengusulkan untuk menindaklanjuti berita tentang kebakaran Pasar Tanah Abang. Kemudian usul saksi Ahmad Taufik tersebut disetujui oleh peserta rapat termasuk terdakwa Bambang Harymurti sebagai Pemimpin Redaksi;<br />- Bahwa untuk mencari/ menemukan sumber berita terdakwa telah menugaskan beberapa orang wartawan;<br />- Bahwa saksi Ahmad Taufik menugaskan reporter antara lain Bernarda Rurit untuk mewawancarai Tomy Winata dan Indra Darmawan ditugaskan untuk mewawancarai H.P Lumbun, S.H., selaku Walikota Jakarta Pusat dan saksi Cahyo Djunaedi mewawancarai Dani Anwar dan M. Yusup;<br />- Bahwa berdasarkan data-data yang diperoleh para Reporter Majalah Tempo tersebut, saksi Ahmad Taufik membuat tulisan dengan judul “Ada Tomy di Tenabang?”.<br />- Bahwa oleh Saksi T. Iskandar Ali, dilakukan perubahan dari judul “Ada Tomy di Tanah Abang”, menjadi “Ada Tomy di ‘Tebanang’?”. Dan dalam paragraph kedua menambahkan kata “Pemulung Besar” pada nama Tomy Winata, padahal saksi Ahmad taufik dan saksi T. Iskandar Ali mengetahui bahwa Tomy Winata adalah seorang pengusaha;<br />- Bahwa dari hasil pengumpulan data oleh para wartawan Tempo tersebut, telah dilakukan setting dan editing yang oleh saksi Ahmad Taufik dan T. Iskandar Ali kemudian hasilnya diserahkan kepada terdakwa untuk dikoreksi, dan terdakwa menyetujui dan mengizinkan berita tersebut untuk dimuat dalam Majalah Tempo edisi 3 s.d 9 Maret 2003;<br />- Bahwa terdakwa Bambang Harymurti selaku Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo mempunyai tugas dan tanggungjawab diseluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita;<br />- Bahwa terdakwa tanpa meneliti kebenaran data berita yang dibuat oleh saksi Ahmad Taufik dan diedit oeh saksi T Iskandar Ali dengan judul “Ada Tomy di Tebanang”, telah menyetujui dimuat dan dicetak dalam Majalah Mingguan Tempo Edisi 3 s.d 9 Maret 2003;<br />- Bahwa dengan persetujuan terdakwa, berita “Ada Tomy di Tenabang”, dengan foto Tomy Winata dimuat dan dicetak dalam majalah berita Mingguan Tempo Majalah Mingguan Tempo Edisi 3 s.d 9 Maret 2003 halaman 30-31;<br />- Bahwa terbitnya tulisan dengan judul “Ada Tomy di Tebanang” Majalah Mingguan Tempo Edisi 3 s.d 9 Maret 2003, karena adanya kerjasama antara terdakwa Bambang harymurti dengan Saksi Ahmad Taufik dan saksi T. Iskandar Ali;<br />Menimbang, bahwa dengan demikian unsur bersama-sama telah pula terpenuhi adanya.<br />Menurut pendapat saya, pertimbangan Majelis Hakim tidak lengkap. Memang pada bagian awal pertimbangannya mengenai unsur ‘bersama-sama’ ini, Majelis Hakim menyebutkan bahwa dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP unsur ‘bersama-sama’ sifatnya adalah alternatif, dimana KUHP mengartikannya sebagai pelaku (dader) adalah mereka yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (plegen), mereka yang menyuruh orang lain melakukan suatu perbuatan pidana (doen plegen), mereka yang turut serta/ bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana (medeplegen) dan mereka yang dengan sengaja menganjurkan/ menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitloking).<br />Kemudian, Majelis Hakim juga menambahkan beberapa pendapat para ahli mengenai unsur ‘bersama-sama’ ini, mulai dari pendapat Prof. Simons, Mr. Noyon, Prof. Hazewinkel Zuringa, MvT, hingga Putusan MA RI No. 525K/Pid/1990 tanggal 28 Juni 1990. Namun, Majelis Hakim sama sekali tidak menentukan termasuk unsur ‘bersama-sama’ yang manakah yang kiranya telah dilakukan oleh terdakwa.<br /><br />Menurut hemat saya, dituliskannya semua pendapat para Ahli mengenai unsur ‘bersama-sama’ secara lengkap oleh Majelis Hakim tidak berguna sama sekali apabila tidak dapat menentukan unsur ‘bersama-sama’ yang manakah yang kiranya telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa.<br /><br />Majelis Hakim tidak menentukan apakah terdakwa merupakan pelaku (dader) yaitu seseorang yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (plegen), atau terdakwa merupakan seseorang yang menyuruh orang lain melakukan suatu perbuatan pidana (doen plegen), atau terdakwa merupakan orang yang turut serta/ bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana (medeplegen) dan atau terdakwa merupakan orang yang dengan sengaja menganjurkan/ menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitloking).<br /><br />Kesimpulan:<br />1. Jaksa Penuntut Umum tidak menjelaskan peran yang diambil oleh Terdakwa bersama dengan saksi Achmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali dalam kerjasama yang telah dituduhkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.<br />2. Majelis Hakim sama sekali tidak menentukan termasuk unsur ‘bersama-sama’ yang manakah yang kiranya telah dilakukan oleh terdakwa.<br />3. Bahwa Majelis Hakim tidak melakukan analisis dan pertimbangan yang mendalam. Majelis Hakim hanya memberikan pertimbangan hukum yang sekedarnya saja, tanpa merasa perlu untuk melakukan penggalian secara lebih mendalam terhadap semua unsur dakwaan yang kiranya telah terpenuhi oleh terdakwa.<br /><br />Kejahatan Money Loundering<br /><br />A. Pendahuluan<br /><br />Kejahatan Money Loundering pada awalnya selalu terkait dengan masalah perdagangan narkoba, namun sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1930, yaitu terkait dengan perusahaan Loundry atau perusahaan pencucian pakaian yang dibeli oleh mafia di Amerika Serikat dengan menggunakan dana dari usaha gelap atau illegal mereka seperti usaha perjudian, prestitusi, minumana keras, narkoba dan lainnya. Istilah money loundering ini lebih terkenal lagi di Amerika Serikat, akibat terungkapnya kasus pemutihan uang mafia tersebut yang terkenal dengan kasus Pizza Connection. Perkara Pizza Connection ini menyangkut dana haram bernilai sekitar USD 600.000.000,- (enam ratus juta dollar Amerika) yang ditransfer ke sejumlah bank di Swiss dan Italia. Adapun kedok yang digunakan untuk mengelabui atau menyamarkan uang haramnya tersebut, adalah dengan restoran-restoran Pizza yang banyak tersebar di Amerika Serikat , yaitu pada tahun 1984 dengan upaya yang sangat rumit dan sulit untuk dideteksi.<br /><br />Adapun faktor-faktor penyebab berkembangnya kejahatan money loundring di Indonesia maupun di dunia berkait erat dengan ; masalah adanya rahasia bank yang ketat, sehingga dana haram milik penjahat akan sulit terlacak, masalah penyimpanan dana secara anonymous saving passbook accounts, yaitu menyimpan dana dengan nama samaran ataupun tanpa nama sehingga tidak bisa dilacak, masalah teknologi perbankan secara elektronik yang terkenal dengan electronic money bahkan dengan E Comerce yang merupakan kejahatan maya (Cyber Crime) yang tentunya lebih sulit lagi untuk dilacak, masalah kerahasian hubungan client dan lawyer yang dilindungi oleh hukum serta yang paling penting lagi adalah masalah kesungguhan pemerintah untuk memerangi kejahatan money loundring secara konsekuen.<br /><br />Kejahatan money loundering diakui mempunyai dampak positif bagi perekonomian Negara, karena berfungsi sebagai investment capital bagi pembangunan pada suatu Negara, sehingga system perbankan melindungi kejahatan ini. Tetapi secara makro baik langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu berbagai system ekonomi dan politik Negara, karena cara kegiatannya yang kompleks menyangkut juga penggelapan pajak yang terkait dengan penyalah gunaan kekuasaan dan korupsi, sehingga disamping berkait dengan uang Negara, juga merusak moral pemerintah dan bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itulah masalah Korupsi dan beberapa kejahatan lainnya dimasukkan sebagai predikat crime di dalam Undang-undang TPPU, yang dituangkan dalam pasal 2 Undang-undang no. 15 tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003.<br /><br />Perang terhadap kejahatan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati belum secara khusus dilakukan namun terhadap illegal logging sudah dicanangkan Pemerintah sejak tahun 2001, sekalipun upaya memberantas kejahatan kehutanan sesungguhnya telah lama dilakukan di Indonesia dengan menggunakan banyak pendekatan terutama sejak diundangkannya UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah telah menggalang kerjasama internasional guna mengoptimalkan langkah penanganan yang telah dilakukan serta memberi tekanan terhadap negara-negara yang selama ini memanfaatkan kayu haram dari Indonesia. Pemerintah saat ini tengah merampungkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) mengenai illegal logging guna meningkatkan upaya mengatasi masalah kejahatan kehutanan ini secara lebih efektif. Berbagai langkah pemerintah itu tidak menyurutkan, sebaliknya kejahatan kehutanan terutama pembalakan liar terkesan semakin marak dan berani, akibatnya rakyat dirugikan tak kurang dari Rp 30 triliun per tahun akibat illegal logging ini. Jumlah angka yang sangat fantastis. Harus diakui bahwa kejahatan kehutanan merupakan magnitude persoalan yang sangat besar. Banyak pihak yang andil dalam rantai kejahatan ini dan menikmati hasil yang diperoleh, langsung maupun tidak langsung. Suatu keniscayaan bahwa kejahatan kehutanan tidak mungkin tak dapat diberantas. Pendekatan rezim anti pencucian uang yang lebih memfokuskan pada deteksi transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction report) dan penelusuran aliran dana (follow the money) merupakan alternatif instrumen yang dapat digunakan untuk membantu memerangi kejahatan kehutanan ini. Dibidang konservasi sumber daya alam hayati, sudah diatur dalam UU No. 5 tahun 1990, tentang Koservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dikuatkan dengan PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa yang dalam lampiran PP tersebut memuat jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, namun kenyataannya kejahatan dibidang ini tetap berjalan, bahkan semakin marak, karena terkait dengan banyaknya permintaan baik dalam negeri maupun dari luar negeri, mengingat harganya yang sangat tinggi dan kemudahan dalam pembawaan dalam arti tidak memerlukan alat dan tempat yang besar dalam pengirimannya. Hal itu ditambah dengan bobroknya mental petugas bahkan ikut serta menjadi bagian dari kejahatan tersebut.<br /><br />B. Tindak Pidana Pencucian Uang,:<br /><br />1. Pasal 3 ayat (1) UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU no. 25/2003, menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (ke dalam penyedia jasa keuangan), baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,-(lima belas milyar rupiah), yang unsur-unsurnya sebagai berikut<br /><br />a. Setiap orang, dapat dijelaskan sebagai berikut :Kata setiap orang, diperuntukkan tanpa melihat kewarganegaraan seseorang, artinya semua orang dapat dikenakan pasal ini, lebih-lebih masalah Money Loundring ini sudah merupakan masalah global. Dalam pasal 2 KUHP menyebutkan “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia. Juga dalam pasal 3 KUHP memperluas sampai di dalam perahu Indonesia. Demikian juga pasal 4 KUHP memperluas sampai di luar Indonesia, untuk kejahatan tertentu, serta dalam pasal 5 KUHP untuk warga Negara Indonesia dimana saja bila ketentuan pidana Indonesia sebagai kejahatan dan dinegara tempat dilakukan juga diancam pidana.<br /><br />b. Dengan sengaja, ini berarti orang yang disangkakan melakukan Tindak Pidana Pencucian uang tersebut harus dibuktikan sifat sengajanya, apakah sebagai bentuk kesengajaan sebagai kehendak, atau perbuatannya itu memang dikehendaki, ataukah hanya karena tbentuk pengeahuan, artinya adanya pengetahuannya akan dampak dari perbuatannya.<br /><br />c. Menempatkan; mentransfer; membayarkan atau membelanjakan; menghibahkan atau menyumbangkan; menitipkan; membawa keluar negeri; menukarkan atau perbuatan lainnya, yang adalah masing-masing perbuatan merupakan suatu alternative yang cukup dibuktikan salah satunya saja, kecuali seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus, maka kesemuanya harus dituangkan dalam berkas perkara, seperti :<br /><br />d. Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, maksudnya orang tersebut dengan penilaiannya dia dapat mengetahui atau setidak-tidaknya secara kepatutan dapat memperkirakan (proparte dulus proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil kejahatan, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang no. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sedang yang dimaksud harta kekayaan disini adalah sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 4 UU TPPU yang menyebutkan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.<br /><br />Unsur pasal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :<br /><br />a) Kata dengan maksud, menunjukan sifat kesengajaannya, tapi dalam konteks kehendak, artinya perbuatan sebagaimana unsur kedua dari huruf a sampai dengan huruf h tidak cukup sampai disitu, tetapi perbuatan tersebut harus dimaksudkan atau dikehendaki oleh pelaku untuk sebagaimana penjelasan di bawah ini.<br /><br />b) Menyembunyikan atau menyamarkan artinya menyimpan ditempat yang tersembunyi atau membuat tidak terangnya sesuatu, sehingga orang lain tidak dapat mengetahui uang atau harta kekayaan itu bersih atau kotor.<br /><br />c) Asal-usul harta kekayaan, artinya darimana diperolehnya harta kekayaan yang dilakukan tindakan sebagaimana unsur kedua<br /><br />d) Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, artinya dalam hal ini cukup karena kekurang penghati-hatiannya maupun karena kurangnya penduga-dugaan, mereka sudah dapat dikenakan pasal ini, (lihat penjelasan pro parte dolus proparte culpa dalam point 2 b).<br /><br />2. Pasal 3 ayat (2) UU TPPU, yang berbunyi ; “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”,<br /><br />Dapat dijelaskan sebagai berikut :<br /><br />a. Percobaan, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 53 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1) Unsur niat Niat tidak sama dengan kesengajaan, tetapi secara potensial dapat menjadi kesengajaan. Niat jika belum semua diselesaikan menjadi kejahatan akan tetap masih ada yang merupakan sifat bathin dan menjadi arah kepada perbuatan, disebut sebagai percobaan terhenti. Isinya niat tidak dapat diambil dari isinya kesengajaan, tetapi harus dibuktikan tersendiri.<br /><br />2) Unsur Permulaan pelaksanaan<br /><br />Permulaan pelaksanaan tidak sama dengan persiapan pelaksanaan, oleh karenanya untuk menjelaskan permulaan pelaksanaan, harus terpenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu :<br /><br />- Secara obyektif apa yang telah dilakukan pelaku harus mendekati delik, yang berarti harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik.<br />- Secara objektif dari asfek niat tidak ada keraguan lagi perbuatan itu diarahkan kepada delik dimaksud.<br />- Merupakan perbuatan melawan hukum, dalam hal ini dapat diartikan baik bersifat melawan hukum secara formal maupun melawan hukum secara material.<br /><br />3 Unsur Tidak selesainya perbuatan bukan karena kehendak sendiri.Unsur ini diperlukan dengan maksud agar adanya jaminan tidak dipidananya orang yang secara sukarela membatalkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai, sehingga harus jelas terhentinya perbuatan sebagai akibat dari campur tangannya pihak lain b. Pembantuan, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 56 KUHP, dapat dijelaskan sebagai berikut :<br /><br />1) Pembantuan atau medeplichtigheid, dapat terjadi pada saat timbulnya delik tanpa daya upaya tertentu dan dapat terjadi dengan mendahului delik melalui daya upaya memberi kesempatan, sarana atau keterangan.<br /><br />2 Dalam pembantuan dapat terjadi pembantuan aktif dan pembantuan pasif.<br /><br />3) Pada pembantuan pasif persoalnnya terletak pada tidak melakukan suatu sebagai perbuatan pembantuan atau senada dengan perbuatan pembiaran.<br /><br />4) Pembantuan yang terjadi setelah timbulnya delik disebut sebagai persekongkolan jahat atau Tindak Pidana penadahan, sebagaimana diatur dalam pasal 480 KUHP.<br /><br />Analisis Pasal 56 KUHP terhadap kejahatan money loundering.<br /><br />Unsur pokok obyektif Pidana terdiri dari :<br />(a)Perbuatan manusia (positif atau negatif)<br /><br />(b)Menimbulkan akibat membahayakan, merusak/menghilangkan kepentingan/ kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, harta milik / benda, kehormatan dsbnya.<br /><br />(c)Keadaan-keadaan yang dibedakan :<br />(1) Keadaan sebelum/saat perbuatan dilakukan.<br />(2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.<br /><br />(d)Sifat dapat dihukum berkenaan dengan hukum.<br />Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan dari hukuman.<br />Sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hokum (larangan atau perintah).<br /><br />Delik penyertaan (deelneming) diatur masing-masing :<br />(a) Sebagai pembuat yang turut melaksanakan segala anasir delik (pasal 55 (1) sub 1)<br />(b) Sebagai pembuat peserta hanya turut melaksanakan sebagiandari anasir-anasir delik (pasal 55 (1) sub 1)<br />(c) Sebagai pembuat penyuruh/tidak langsung (manus domina / tangan yang merajai) yang turut campur dengan cara menyuruh melakukan delik oleh orang lain pembuat langsung (manus ministra / tangan mengabdi) (pasal 55 (1) sub 1)<br />(d) Sebagai pembuat penganjur (dinamai juga pembuat intelektual, pembujuk atau pemikat) ialah menganjurkan oranSistem pertanggungg lain melakukan sesuatu delik dengan mempergunakan sesuatu delik dengan mempergunakan sesuatu iktiar (pasal 55 (10 sub 2)<br />(e) Sebagai pembantu sementara kejahatan dilakukan yaitu turut memberi pertolongan kepada pembuat pada waktu kejahatan dilakukan (pasal 56 (1))<br />(f) Sebagai pembantu sebelum kejahatan dilakukan yaitu turut campur memberi kesempatan, sarana, keterangan kepada orang yang bermaksud akan melakukan kejahatan/untuk memudahkan pelaksanaannya (pasal 56 (2).<br /><br />Menurut saya, dalam uraian di atas, terhadap pasal 56 KUHP terkait dengan kasus money loundering, adalah bahwa kejahatan tersebut tidak dapat dilakukan sendiri dan bersifat struktural. Bahkan biasanya terjadi tindak pidana lain (concursus) terkait kejahatan money loudering. Sistem pertanggungjawaban adalah penyertaan (deelneming), karena pasti banyak pihak yang terkait di dalamnya. Di sisi lain kejahatan kejahatan money loundering diakui mempunyai dampak positif bagi perekonomian Negara, karena berfungsi sebagai investment capital bagi pembangunan pada suatu Negara, sehingga system perbankan melindungi kejahatan ini. Bank dalam hal ini pastinya memiliki keterkaitan dalam kejahatan ini. Di satu sisi, Bank melindungi rahasia nasabahnya;adanya rahasia bank yang ketat, sehingga dana haram milik penjahat akan sulit terlacak.<br /><br />Dalam UU no 7 th 1992 tentang Perbankan, dalam pasal 1 ayat (16) berbunyi sbb:<br />“Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal<br />lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan”<br /><br />Menurut saya, kita dapat mengesampingkan UU di atas, selama menyangkut masalah keamanan Negara dan atau kepentingan publik. Karena jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka para koruptor dapat secara aman menyimpan uang “haramnya” dengan sangat aman.<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-87252162023412756802010-01-08T19:43:00.001+07:002010-01-08T19:44:08.136+07:00TEORI-TEORI PEMIDANAAN DAN RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANATEORI-TEORI PEMIDANAAN<br /><br />A. Pentingnya Teori Pemidanaan<br />Sebelumnya telah dibahas mengenai hukum pidana subjektif dan hukum pidana objektif. Mengenai teori-teori pemidanaan ini berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif. Teori ini mencari dan menerangkan dasar hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hal ini dimaksudkan bahwa negara dalam menjalankan fungsinya menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan cara melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi seseorang.<br />Melihat pidana yang diancamkan (Pasal 10 KUHP) apabila telah diterapkan, maka justru menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Tentu dalam menjalankan hak pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya dimiliki oleh negara saja, yang berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan ketertiban masyarakatnya. Sehingga dengan tanggung jawab tersebut negara diberi hak dan wewenang melalui alat-alatnya untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.<br />Mengenai dasar hak dan wewenang negara dalam menjatuhkn dan menjalankan pidana terdapat beberapa teori, antara lain; teori absolute, teori relatif dan teori gabungan. <br /><div class="fullpost"><br />TEORI-TEORI PEMIDANAAN<br /><br />A. Pentingnya Teori Pemidanaan<br />Sebelumnya telah dibahas mengenai hukum pidana subjektif dan hukum pidana objektif. Mengenai teori-teori pemidanaan ini berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif. Teori ini mencari dan menerangkan dasar hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hal ini dimaksudkan bahwa negara dalam menjalankan fungsinya menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan cara melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi seseorang.<br />Melihat pidana yang diancamkan (Pasal 10 KUHP) apabila telah diterapkan, maka justru menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Tentu dalam menjalankan hak pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya dimiliki oleh negara saja, yang berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan ketertiban masyarakatnya. Sehingga dengan tanggung jawab tersebut negara diberi hak dan wewenang melalui alat-alatnya untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.<br />Mengenai dasar hak dan wewenang negara dalam menjatuhkn dan menjalankan pidana terdapat beberapa teori, antara lain; teori absolute, teori relatif dan teori gabungan. <br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-39646662629897812032010-01-08T19:40:00.000+07:002010-01-08T19:41:31.808+07:00PENDAHULUAN HUKUM PIDANAHUKUM PIDANA<br /><br />A. PENDAHULUAN<br />Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya, -dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain.<br />Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada ketidakseimbangan. Dan pertanggung jawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”. Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum.<br /><div class="fullpost"><br /><br />Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh kehidupan sosial dan agama. Kalau ada orang yang melanggar pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan kegiatan anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja yang dapat dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana, karena merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dari kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.<br /><br />B. DEFINISI HUKUM PIDANA MENURUT BEBERAPA PAKAR HUKUM<br />Beberapa pendapat Pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut :<br />(1). POMPE (1959: 15), menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.<br /><br />(2). APELDOORN (1952: 251 – 260), menyeatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dari diberikan arti :<br />Hukum Pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu :<br />a. Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaranya.<br />b. Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk dipertanggung jawabkan menurut hukum.<br /><br />Hukum pidana formil yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat ditegakan.<br /><br />(3). D. HAZEWINKEL-SURINGA, (1968: 1), dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti:<br />a. Objektif (ius poenale), yang meliputi:<br />1. Perintah dan larangan yang pelanggaranya diancam dengan sansi pidana oleh badan yang berhak.<br />2. Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Panitensier.<br />3. Subjektif (ius puniendi), yaitu: hak Negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.<br /><br />(4). VOS (1950 : 1-4), menyatakan bahwa Hukum Pidana diberikan dalam arti bekerjanya sebagai<br />a. Peraturan hukum objektif (ius poenale) yang dibagi menjadi :<br />1. Hukum Pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat-syarat bilamana, siapa dan bagaimana sesuatu dapat dipidana.<br />2. Hukum Pidana formil yaitu hukum acara pidana.<br />b. Hukum subjektif (ius punaenandi), yaitu meliputi hukum ya-ng memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman pida-na, menetapkan putusan dan melaksanakan pidanayang hanya dibebankan kepada Negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu.<br />c. Hukum pidana umum (algemene stafrecht) yaitu hukum pidana yang berlaku bagi semua orang.<br />d. Hukum pidana khusus (byzondere strafrecht), yaitu dalam bentuknya sebagai ius speciale sperti hokum pidana militer, dan sebagai ius singulare seperti hukum pidana fiscal.<br /><br />(5). ALGRA JANSSEN, (1977: 59) mengatakan bahwa hukum pidana adalah merupakan alat yang dipergunakan oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.<br /><br />Beberapa pendapat Pakar hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut :<br />(1). MOELJANTO mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hokum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :<br />a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.<br />b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.<br />c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Bambang Poernomo, 1985 :22).<br /><br />(2). SATOCHID KARTANEGARA (I :1 – 2 ), bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu :<br />a. Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah perturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.<br />b. Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak Negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.<br /><br />(3). SOEDARTO (1977: 30,41) mengatakan bahwa Hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negative, ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi, yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan (maatregelen), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu, hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenaran (justification) pidana itu.<br /><br />(4). MARTIMAN PRODJOHAMIDJOJO, Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :<br />a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.<br />b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.<br />c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.<br /><br />(5). ROESLAN SALEH (1978: 5), mengatakan bahwa setiap perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan sehingga perlu adanya penekanan pada perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu sesuatu perbuatan pidana berarti perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan tercapainya tatanan dalam pergaulan yang di cita-citakan masyarakat. Sehingga isi pokokdari definisi Hukum Pidana itu dapat disimpulkan sebagai berikut :<br />a. Hukum Pidana sebagai hukum positif.<br />b. Substansi hukum pidana adalah hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan bagi pelakunya.<br /><br />Hukum acara pidana adalah hukum yang menentukan bagaimana menegakkan substansi hukum pidana. Hukum Pidana merupakan bagian dari Hukum public yang berisi ketentuan tentang :<br />1. Aturan Hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman berupa sanksi pidana bagi yang melanggar larangan itu. Aturan umum hukum pidana dapat di lihat dalam KUHP maupun yang lainnya.<br />2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana. Berisi tentang : a). kesalahan/shuld.2). Pertanggungjawaban pidana pada diri si pembuat/toerekeningsvadbaarheid. Dalam Hukum pidana dikenal asas geen straf sonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan), artinya seseorang dapat dipidana apabila perbuatannya nyata melanggar larangan Hukum pidana. Hal ini diatur pada pasal 44 KUHP tentang tidak mampu bertanggung jawab bagi si pembuat atas perbuatannya, dan pasal 48 KUHP tentang tidak dipidananya si pembuat karena dalam keadaan daya paksa (overmacht), kedua keadaan ini termasuk dalam “alasan penghapus pidana”, merupakan sebagian dari bab II buku II KUHP.<br />3. Tindakan dan upaya yang harus dilakukan Negara melalui aparat hukum terhadap tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hokum pidana dalam rangka menentukan menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya serta upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh tersangka/terdakwa dalam usaha mempertahankan hak-haknya.<br />Dikatakan sebagai hokum pidana dalam arti bergerak (formil) memuat aturan tentang bagaimana Negara harus berbuat dalam rangka menegakan hokum pidana dalam arti diam (materiil) sebagimana dilihat pada angka 1 dan 2 diatas.<br /><br />C. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA<br />Beberapa pembagian hukum pidana atas dasar :<br />1. Hukum pidana dalam keadaan diam dan dalam keadaan bergerak.<br />Hukum pidana dibedakan atas Hukum pidana materiil (diam) dan formil (bergerak).<br /><br />2. Hukum pidana dalam arti objektif dan subjektif.<br />Hukum pidana objektif atau ius poenale adalah hokum pidana yang dilihat dari larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut (hukum pidana materiil).<br />Hukum pidana subjektif atau ius poenandi merupakan aturan yang berisi hak atau kewenangan Negara untuk :<br />- Menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.<br />- Memberlakukan (sifat memaksa) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan.<br />- Menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh Negara kepada pelanggar hokum.<br />3. Pada siapa berlakunya Hukum pidana.<br />Dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga Negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Sedangkan Hukum Pidana khusus adalah hokum pidana yang dibentuk oleh Negara yang hanya dikhususkan bagi subjek hukum tertentu saja. Perbedaan ini hanya berdasarkan KUHP.<br /><br />4. Sumbernya<br />Pembedaan menurut sumbernya hukum pidana Umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana Umum adalah semua ketentuan pidana yang terdapat /bersumber pada kodifikasi (KUHP dan KUHAP), sering disebut dengan hukum pidana kodifikasi. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumber pada peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Hukum pidana khusus ini dibedakan atas 2 (dua) kelompok, yaitu:<br />- Kelompok peraturan perundang-undangan Hukum pidana (ketentuan/isi peraturan perundang-undangan ini hanya mengatur satu bidang Hukum pidana.<br />- Kelompok peraturan perundang-undangan bukan dibidang Hukum pidana, tetapi didalamnya terdapat ketentuan pidananya.<br /><br />5. Wilayah berlakunya Hukum.<br />Dari wilayah berlakunya Hukum, hukum pidan dapat dibedakan antara :<br />- Hukum pidana umum (Hukum pidana yang dibentuk oleh Negara dan berlaku bagi subjek Hukum yang melanggar Hukum pidana di wilayah Hukum Negara).<br />- Hukum pidana local (hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hokum yang melakukan perbuatan yang dilanggar oleh hokum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Selain itu juga dapat dibedakan atas hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional.<br /><br />6. Bentuk/Wadahnya.<br />Berdasarkan bentuk/wadahnya hokum pidana dapat dibedakan menjadi :<br />- Hukum pidana tertulis (hukum pidana undang-undang)<br />- Hukum pidana tidak tertulis (hukum pidana adat).<br /><br />D. HUKUM PIDANA ISLAM<br />Dalam hukum pidana Islam / fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil pemahaman atas dalil-dalil hukum dari Al-qur’an dan Hadist.<br />Dalam hukum pidana Islam hukum kepidanaan atau disebut juga dengan jarimah (perbuatan tindak pidana). Jarimah terbagi atas :<br />1. Jarimah Hudud<br />Adalah perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan batas hukumanya di dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW. Sanksinya berupa sanksi had (ketetapan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah). Hukumannya berupa rajam, jilid atau dera, potong tangan, penjara/kurungan seumur hidup, eksekusi bunuh, pengasingan/deportasi, dan salib.<br /><br />2. Jarimah Ta’zir.<br />Adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya. Dalam pengertian istilah hukum Islam merupakan hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengaharuskan pelakunya dikenai had. Hukumannya berupa hukuman penjara, skorsing atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.<br />Selain itu dalam hukum pidana Islam juga dikenal delik Qishas memotong atau membalas). Selain itu juga ada delik diat (denda dalam bentuk benda atau harta) berdasarkan ketentuan yang harus dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya. Perbedaanya, Qishas diberlakukan bagi perbuatan pidana yang disengaja, sedangkan Diat diberlakukan bagi perbuatan pidana yang tidak disengaja. Ibnu Rusyid mengelompokan qishas menjadi 2 (dua) yaitu, :<br />a. Qishas An-Nafs (pembunuhan) yaitu qishas yang membuat korbanya meninggal, sering disebut dengan kelompok al-qatlu (pembunuhan)<br />b. Qishas ghairu an-nafs, yaitu qishas yang membuat korbanya cidera atau melukai korbanya tidak sampai meninggal, sering disebut dengan kelompok al-jarhu (pencederaan).<br /><br />E. TUJUAN HUKUM PIDANA<br />Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :<br />1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.<br />2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya.<br /><br />Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.<br />Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai seseorang melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu hukum pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu hukum pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.<br /><br />F. PERISTIWA HUKUM PIDANA<br />Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya.<br />Dan unsur-unsur itu terdiri dari :<br />1. Obyektif.<br />Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif di sini adalah tindakannya.<br /><br />2. Subyektif.<br />Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).<br /><br />Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu peristiwa pidana ialah:<br />a). Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.<br />b). Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan. Perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya dan dalam keadaan darurat.<br />c). Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.<br />d). Harus berlawanan dengan hukum. Artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan hukum.<br />e). Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumannya. Dan ancaman hukuman itu dinyatakan secara tegas maksimal hukumnya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau di dalam suatu perbuatan tertentu, maka dalam peristiwa pidana terhadap pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman.<br /><br />G. HUKUM PIDANA INDONESIA<br />Hukum pidana Indonesia bentuknya tertulis dikodifikasikan dalam sebuah kitab undang-undang dan dalam perkembanganya banyak yang tertulis tidak dikodifikasikan berupa undang-undang, hukum pidana yang tertulis dikodifikasikan itu tertera ketentuan-ketentuannya di dalam kitab undang-undang hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari zaman pemerintah penjajahan Belanda.<br />Kitab undang-undang hukum Pidana (KUHP) terdiri atas 569 pasal, secara sistematik dibagi dalam :<br />Buku I : Memuat tentang ketentuan-ketentuan umum (Algemene Leerstrukken) Pasal 1 – 103.<br />Buku II : Mengatur tentang tindak pidana Kejahatan ( Misdrijven) pasal 104 – 488<br />Bulu III : Mengatur tentang tindak pidana Pelanggaran (Overstr-dingen) 489 – 569.<br /><br />H. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA<br />Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat (4), ialah :<br />1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)<br />2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel)<br />3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)<br /><br />I. SISTEM HUKUMAN<br />Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :<br />a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).<br />1. Hukuman mati<br />2. Hukuman penjara<br />3. Hukuman kurungan<br />4. Hukuman denda<br />b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)<br />1. Pencabutan beberapa hak tertentu<br />2. Perampasan barang-barang tertentu<br />3. Pengumuman putusan hakim.<br /><br />J. HUKUM ACARA PIDANA<br />Hukum acara Pidana yang disebut juga hukum Pidana formal mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material. Penyelenggaraannya berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang hukum acara pidana. Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu ditulis secara sistematik dan teratur dalam sebuah kitab undang-undang hukum, berarti dikodifikasikan dalam kitab undang-undang hukum acara Pidana (KUHAP), KUHAP itu diundangkan berlakunya sejak tanggal 31 Desember 1981 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, tambahan lembaran Negara No. 3209.<br />Tujuan pengkodifikasian hukum acara pidana itu terutama sebagai pengganti Regleemen Indonesia (RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan kepada hak-hak asasi manusia. Sedangkan fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kepentingan umum. Ketentuan-ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal, menurut pasal 2-nya menyatakan bahwa KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum. Maksudnya, ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti asas-asas hukum pidana dan yang berwenang mengadili tindak-tindak pidana berdasarkan KUHAP hanya peradilan Umum, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Untuk melaksanakan KUHAP perlu diketahi beberapa hal penting antara lain ialah :<br />a. Asas praduga tidak Bersalah (presumption of innacence)<br />Dalam pasal 8 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dinyatakan bahwa “ setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang mengatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap” berdasarkan asas praduga tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dari hakim Pengadilan, maka ia masih tetap memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara.<br /><br />b. Koneksitas<br />Perkara Koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh peradilan militer. Menurut pasal 89 ayat 1 dinyatakan bahwa “ Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan-peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka kewenangan dalam mengadili perkara koneksitas ada pada peradilan umum. Tetapi kewenangan peradilan umum tidak mutlak tergantung kepada kerugian yang ditimbulkan dari adanya tindak pidana itu.<br /><br />c. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan<br />Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa dalam melaksanakan putusan (eksekusi) itu ketua pengadilan melakukan tugas pengawasan dan pengamatan. Dalam pasal 277 ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa “ pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan Pidana perampasan kemerdekaan”.<br /><br />KUHP POKOK<br /><br />- PASAL 10 :TENTANG PIDANA POKOK DAN TAMBAHAN.<br />- PASAL 53 : PERCOBAAN KEJAHATAN<br />- PASAL 104 : TENTANG PENYERANGAN ATAU MAKAR<br />- PASAL 130 : KEJAHATAN THDP KEAMANAN NEGARA<br />- PASAL 131 : KEJAHATAN THDP MARTABAT PRESIDEN DAN WAPRES<br />- PASAL 140 : KEJAHATAN POLITIK<br />- PASAL 187 : PEMBAKARAN<br />- PASAL 170 : PENGEROYOKAN<br />- PASAL 209 : MEMBERI SUAP<br />- PASAL 241 : PEMBUNUHAN TERHADAP ANAK<br />- PASAL 242 : SUMPAH PALSU DAN KETERANGAN PALSU<br />- PASAL 244 : PEMALSUAN MATA UANG<br />- PASAL 254 : PEMALSUAN MATERAI,SURAT / MEREK<br />- PASAL 281 : KEJAHATAN KESUSILAAN<br />- PASAL 285 : PEMERKOSAAN<br />- PASAL 300 : MINUMAN KERAS<br />- PASAL 303 : PERJUDIAN<br />- PASAL 304 : PEMBIARAN/MENINGGALKAN ORG YANG PERLU DITOLONG<br />- PASAL 310 : PENGHINAAN<br />- PASAL 311 : MENFITNAH<br />- PASAL 315 : PENGHINAAN RINGAN<br />- PASAL 328 : PENCULIKAN<br />- PASAL 338 : PEMBUNUHAN BIASA<br />- PASAL 340 : PEMBUNUHAN BERENCANA<br />- PASAL 352 : PENGANIAYAAN RINGAN<br />- PASAL 362 : PENCURIAN BIASA<br />- PASAL 363 : PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN<br />- PASAL 364 : PENCURIAN RINGAN<br />- PASAL 365 : PENCURIAN DENGAN KEKERASAN<br />- PASAL 368 : PEMERASAN<br />- PASAL 372 : PENGGELAPAN BIASA<br />- PASAL 374 : PENGGELAPAN BERENCANA<br />- PASAL 378 : PENIPUAN<br />- PASAL 406 : PENGRUSAKAN<br />- PASAL 480 : PENADAHAN<br />- PASAL 485 : PELANGGARAN KUHP<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-26428447245205311392010-01-08T19:36:00.002+07:002010-01-08T19:40:08.395+07:00HAM di Indonesia diantara Normatif dan realitaHAM di Indonesia diantara Normatif dan realita<br /><br />Pendahuluan<br /><br />Sama seperti halnya keadilan, hak asasi manusia merupakan bahasa universal bagi bangsa manusia dan menjadi kebutuhan pokok rokhaniah bagi bangsa baradab di muka bumi. Keadilan dan hak asasi manusia tidak mengenal batas territorial, bangsa, ras, suku, agama, dan ideologi politik. Keadilan dan hak asasi merupakan faktor determinan dalam proses eksistensi dan pembangunan peradaban umat manusia.<br /><br />Bukti jejak sejarah kehidupan manusia menunjukkan adanya beberapa guru bangsa manusia, begitu pun adanya dokumen-dokumen hak asasi manusia yang berkorelasi dengan adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Piagam-piagam tertulis tentang hak asasi manusia mengabadikan hati nurani dan akal manusia untuk tetap menghargai hak asasi dan martabat kemanusiaan. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan selalu mendapat respon moral dan konsekuensi sosial politik sesuai dengan radius dan kompetensi otoritas yang berlaku.<br /><div class="fullpost"><br />Eksistensi hak asasi manusia (HAM) dan keadilan merupakan ramuan dasar dalam membangun komunitas bangsa manusia yang memiliki kohesi sosial yang kuat. Betapapun banyak ragam ras, etnis, agama, dan keyakinan politik, akan dapat hidup harmonis dalam suatu komunitas anak manusia, jika ada sikap penghargaan terhadap nilai-nilai HAM dan keadilan.<br />Eksistensi HAM berbanding lurus dengan keberadaan bangsa manusia sesuai dengan jangkauan pemikiran dan perkembangan lingkungannya. Untuk itu, setiap kejahatan HAM harus diadili karena kejahatan HAM telah, sedang, dan akan selalu menjadi awan gelap dalam perjalanan peradaban bangsa. Bangsa Jerman menanggung beban moral kejahatan HAM yang dilakukan oleh Hitler, Bangsa Jepang terbebani oleh kejahatan HAM tentara Jepang pada masa lalu, begitu pula kejahatan HAM yang terjadi di negara Kamboja, Bosnia Hersegovina, Rwanda, Indonesia, tindakan Amerika Serikat di Afghanistan, Irak, tahanan Guantanamo, dan lain-lain.<br />Dalam makalah ini akan saya sampaikan secara singkat tentang :<br />a. Bagaimana HAM diantara normatif dan realita ?<br />b. Bagaimanakah realita HAM di Indonesia dan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi?<br />c. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM ? Serta bagaimana mengatasinya?<br /><br />ISI<br /><br />A. Normatif (Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia)<br /><br />Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.<br />Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :<br /><br />a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.<br />b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.<br />c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.<br />B. Fakta (Realita yang Ada Tentang HAM di Indonesia)<br />Jika melihat hakikat HAM yang sebenarnya, tentu akan sangatlah indah dibayangkan apabila HAM yang terjadi di Indonesia benar-benar seperti itu. Akan tetapi realitas yang ada tidak seperti itu, bahkan bertolak belakang. HAM yang katanya sangat dilindungi dan dihormati di injak-injak begitu saja oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.<br />Pelanggaran HAM sering terjadi pada semua aspek kehidupan, sebut saja salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan. Hal ini bukanlah satu hal yang asing dikalangan rakyat Indonesia.<br />Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dr. Meutia Hatta Swasono, seperti yang dikutip dari http// : www.kapan lagi. com, mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung dalam bentuk yang bervariasi bahkan menimbulkan dampak yang cukup kompleks. “Yang merasakan kekerasan itu bukan hanya isteri atau perempuan yang terluka, tetapi juga anak-anak yang hidup dan menyaksikan kekerasan dilingkungannya”. Ia juga menambahkan, anak dimungkinkan meniru terhadap apa yang mereka lihat, sehingga menganggapnya bahkan menyesuaikan perbedaan. Karena itu, kekerasan terhadap perempuan baik yang bersifat publik maupun domestik harus secepatnya dicegah.<br />Selain pelenggaran HAM yang berupa kekerasan terhadap perempuan ada juga pelanggaran HAM yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik di Indonesia dan beberapa sebab yang lain yang sebenarnya sudah sangat melampui batas.<br />Berikut ini akan ditampilkan beberapa contoh pelanggaran HAM di Indonesia selama Orde Baru sepanjang tahun 1990-1998, seperti yang dikutip dari http//:www.sekitarkita.com, adalah sebagai berikut :<br />1991 :<br />1. Pembantaian dipemakaman santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda. Pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya 200 orang meninggal<br />1992 :<br />1. Keluar Kepres tentang Monopoli perdagangan oleh perusahaan Tommy Suharto<br />2. Penangkapan Xanana Gusmao<br />1993 :<br />1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993.<br />1996 :<br />1. Kerusuhan anti Kristen di Tasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan kerusuhan Tasikmalaya. (26 Desember 1996)<br />2. Kasus tanah Balongan<br />3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Mucura Enim mengenai pencemaran lingkungan<br />4. Sengketa tanah Manis Mata<br />5. Kasus Waduk Nipoh di Madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat. Ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka<br />6. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja di bakar<br />7. Kerusuhan Sambas Sangvaledo. (30 Desember 1996)<br />1997 :<br />1. Kasus tanah Kemayoran<br />2. Kasus pembantaian mereka yang di duga pelaku dukun santet di Ja-Tim<br />1998 :<br />1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus. Aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan di perkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13-15 Mei 1998<br />2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di Jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei<br />3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demontrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13-14 November 1998 dan dikenal dengan Tragedi Semanggi, dan lain-lain.<br />Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, masih banyak contoh-contoh lain yang tidak dapat semuanya ditulis disini.<br /><br />C. Analisis<br />Dari fakta dan paparan contoh-contoh pelanggaran HAM di atas dapat diketahui hahwa HAM di Indonesia masih sangat memperiatinkan. HAM yang diseru-serukan sebagai Hak Asasi Manusia yang paling mendasarpun hanya menjadi sebuah wacana dalam suatu teks dan implementasinya pun (pengamalannya) tidak ada. banyak HAM yang secara terang-terangan dilanggar seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang legal.<br />Sangat minimnya penegakan HAM di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :<br />1. Telah terjadi krisis moral di Indonesia<br />2. Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang<br />3. Kurang adanya penegakan hukum yang benar.<br />Dan masih banyak sebab-sebab yang lain.<br />D. Kementar<br />Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi, hal itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah diuraikan di atas. Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :<br />1. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi<br />2. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang<br />3. Sanksi yangtegas bagi para pelanggara HAM<br />4. Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat<br />Dan hal-hal yang bersifat positif lainnya. Demikian makalah yang penulis buat tentang Hak Asasi Manusia, semoga bermanfaat. Saran dan kritik selalu penulis tunggu perbaikan dimasa yang akan datang.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Alkostar,Artidjo, Pengadilan HAM, Indonesia, dan peradaban, Pusham UII, 2004<br />http// : www.kapan lagi. com<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-40767316359305484962010-01-08T19:35:00.001+07:002010-01-08T19:36:20.011+07:00ALAT BANTU HUKUM ACARA PIDANABAB I<br />PENDAHULUAN<br />Hukum acara pidana merupakan mata kuliah yang wajib dan yang sangat penting bagi mahasiswa fakultas hukum. Dan pada saat ini terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam hukum acara pidana terutama hal ini terjadi pada negara-negara modern dan negara berkembang termasuk di negara Indonesia.<br />Menurut Wiryono Hukum Acara Pidana adalah peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara-cara alat perlengkapan negara atau pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh keputusan pengadilan oleh siapa keputusan pengadilan itu harus dilaksanakan jika ada seseorang atau sekelompok orangyang melakukan perbuatan pidana.<br />Dari pengertian tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam hukum acara pidana, hakim adalah mencari kebenaran materiil artinya adalah hakim memutus perkara sampai dengan sedalam-dalamnya dan selengkap-lengkapnya. Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata yaitu hakim mencari kebenaran formil artinya hakim hanya sebatas membuktikan saja putusan apayang diminta.<br /><div class="fullpost"><br /><br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-41910711697921695662010-01-08T19:34:00.000+07:002010-01-08T19:35:39.453+07:00ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIKT1<br />ADVOKASI & ALTERNATIF<br />PENYELESAIAN SENGKETA<br /><br />ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK<br /><br />Disusun Oleh :<br />FENI ARI PURWANTI<br />0610110068<br />Kelas B<br /><br />FAKULTAS HUKUM<br />UNIVERSITAS BRAWIJAYA<br />2009<br />Kata Pengantar<br />Upaya perubahan maupun pembangunan ekonomi akan mencapai sasaran secara efektif apabila para pelaku dan pemangku kepentingan dalam hal ini pebisnis maupun organisasi bisnis dapat berpartisipasi aktif membawakan aspirasinya melalui advokasi sehingga benar¬benar terwujud kebijakan yang bersifat pro-bisnis. Masyarakat dunia usaha yang dalam hal ini adalah para pebisnis maupun pelaku ekonomi di berbagai sektor industri, perdagangan dan jasa mewakili kalangan masyarakat yang besar andilnya dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja yang sangat dibutuhkan oleh negara.<br /><div class="fullpost"><br /><br />Dalam kondisi dunia yang saling terkait dan dinamis, advokasi penting terkait dengan kebijakan dan peraturan di negeri sendiri dan juga dampak dari peraturan dan kebijakan yang ada di negara lain yang harus segera disikapi oleh para pebisnisnya. Oleh karenanya, di masa mendatang tidak ada organisasi ataupun asosiasi bisnis yang dapat mengabaikan fungsi advokasi, karena advokasi adalah kunci bagi kelangsungan dan eksistensi sebuah asosasi di masa depan.<br />Buku Pedoman Advokasi ini disusun oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia, sebagai tindaklanjut workshop yang diselenggarakan oleh Central for International Private Enterprise atau CIPE dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia. CIPE adalah organisasi yang berafiliasi Kamar Dagang dan Industri Amerika Serikat (AMCHAM) yang pada tahun 2005 telah menandatangani MoU dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau KADIN Indonesia, dalam rangka mempercepat peningkatan kerjasama ekonomi antara kedua negara. Penulisan buku ini juga mengacu pada buku sejenis yang diterbitkan oleh International Labor Organization (ILO) di Jakarta dengan tambahan beberapa kasus lokal sebagai contoh-contoh.<br />Untuk itu, kami ucapkan terima kasih khususnya kepada Mr. John Callebout, Mr. Fred Whiting dari CIPE dan kepada Mr. Ryan Patrick Garcia Evangelista dari Philippine CCI yang telah menyampaikan bahan melalui workshop di Kadin Indonesia. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Mr. David Parsons dari Komite Khusus Pemberdayaan Investasi dan Perdagangan Internasional (KKPIPI) Kadin Indonesia yang telah membantu terselenggaranya workshop dengan baik.<br /><br />Buku pedoman ini diharapkan dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh Organisasi Perusahaan/Pengusaha di berbagai tingkatan baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota,yang di euphoria reformasi ini untuk menjawab dan menghadapi tantangan terutama berupa terbitnya berbagai kebijakan daerah akibat Otonomi Daerahyang dirasakan menghambat atau tidak kondusif bagi tumbuhnya usaha yang berdaya saing tinggi.<br /><br />BAB I<br />Pengertian dan Pentingnya Advokasi Kebijakan Publik<br /><br />PENGERTIAN ADVOKASI<br />Webster’s New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang.<br />Advokasi pada hakekatnya suatu pembelaan terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan dalam advokasi tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest) - dalam hal ini dunia usaha. Dalam kedudukannya sebagai organisasi pengusaha, makayang dimaksud adalah advokasi kebijakan publik, yaitu tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-kebijakan publik tertentu, meliputi yaitu:<br />• Hukum dan perundang-undangan<br />• Peraturan<br />• Putusan pengadilan<br />• Keputusan dan Peraturan Presiden<br />• Platform Partai Politik<br />• Kebijakan-kebijakan institusional lainnya<br /><br />1.2. PENTINGNYA ADVOKASI<br />Advokasi merupakan upaya untuk mengingatkan dan mendesak negara dan pemerintah untuk selalu konsisten dan bertanggungjawab melindungi dan mensejahterakan seluruh warganya. Ini berarti sebuah tanggung jawab para pelaksana advokasi untuk ikut berperanserta dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan negara.<br />Untuk mencapai tujuan yang diinginkan berbagai bentuk kegiatan advokasi dilakukan sebagai upaya memperkuat posisi tawar (bargaining position) asosiasi atau organisasi pengusaha. Bentuk-bentuk kegiatan advokasi antara lain pendidikan dan penyadaranserta pengorganisasian kelompok-kelompok usaha, pemberian bantuan hukum yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan organisasi pengusaha, serta kegiatan me-lobby ke pusat-pusat pengambilan keputusan.<br />Advokasi kebijakan publik termasuk pula menyuarakan kepentingan dan mencari dukungan terhadap posisi tertentu berkenaan dengan kebijakan publik tertentu. Posisi ini dapat berupa persetujuan, penghapusan, penolakan ataupun perubahan kebijakanyang ada. Oleh karenanya, advokasi kebijakan publik dapat berupa tindakan penentangan terhadap posisi pemerintah dalam isu-isu tertentu, khususnya dalam kebijakan publikyang menyangkut kegiatan usaha, sektor swasta perlu membuat suaranya didengar sehingga dapat memperbaiki kebijakan publik yang perlu dirubah. Hukum dan peraturan itu antara lain meliputi: perdagangan, ketenagakerjaan, keselamatan kerja, transportasi, keuangan, perpajakan, tarif, dumping, pungutan dan biaya lainyang berkenaan dengan kegiatan usaha.<br />1.3. ADVOKASI DAN ORGANISASI PENGUSAHA / PERUSAHAAN<br />Organisasi pengusaha didirikan untuk melayani kepentingan anggotanya, menawarkan sejumlah layanan yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional anggota. Melalui asosiasi sektoralnya masing-masing, para pelaku usaha secara teratur harus mampu menyuarakan posisi mereka dalam isu-isu tertentu melalui cara advokasi kebijakan publik baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Untuk itu, para anggotanyajuga dituntut untuk memahami dengan baik mengenai kebijakan pemerintah serta menyatukan pandangan yang seringkali berbeda-beda mengenai manfaat maupun kerugian dari adanya suatu kebijakan tertentu.<br />Kepentingan advokasi bagi Asosiasi Bisnis adalah :<br />• Menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif<br />• Mewujudkan stabilitas kebijakan<br />• Memastikan undang-undang dan regulasi yang tepat sasaran<br />• Memastikan peraturan perundang-undangan yang adil dan dapat<br />dipertanggung¬jawabkan secara administrative.<br />Ada kelakuan berbeda antara organisasi bisnis dengan keanggotaan wajib dan didanai pemerintah, dibanding organisasi yang murni didirikan secara sukarela. Asosiasi bisnis dengan sistem keanggotaan wajib dan didanai pemerintah tentunya akan memiliki keterbatasan dalam ruang lingkup kegiatannya - terutama bila melakukan advokasi tertentuyang kurang sejalan dengan kebijakan pemerintah yang berakibat mengancam atau membahayakan sumber dananya.<br />Advokasi juga penting bagi pembuat kebijakan karena mereka memerlukan:<br />• Informasi yang berkaitan dengan isu-isu yang ada dalam masyarakat<br />• Opini publik dan konstituen<br />• Bahan masukan yang membantu proses pembuatan peraturan<br />Buku pedoman ini disusun untuk menunjukkan bagaimana sebuah asosiasi bisnis swasta dengan sistem keanggotaan sukarela, melakukan proses perencanaan dan kegiatan advokasi dengan sukses.<br /><br />BAB II<br />Mengidentifikasi Masalah dan sasaran<br /><br />Identifikasi Masalah / Isu<br />• ”Cast a wide net”<br />• Survey anggota<br />• Focused Group<br />• Isu Jangka Panjang dan jangka<br />Pendek<br />• Pro-aktif versus ”watchdog”<br />• Isu koalisi<br />Berdasarkan informasi tersebut dan kriteria tertentu, sejumlah masalah harus dipilih oleh anggota sesuai urutan prioritas. Kriteria tersebut antara lain:<br />a) Masalah reformasi berorientasi pasar dan usaha bebas<br />b) Masalah yang relevan bagi sebagian anggota asosiasi dengan jumlah yang signifikan<br />c) Masalah yang menyangkut kebijakan, hukum atau peraturan khusus (berbeda dengan<br />insiden yang terjadi secara sporadik karena kombinasi dari faktor-faktor yang tidak dapat<br />diprediksikan)<br />d) Masalah dengan ruang lingkup yang jelas<br /><br />e) Masalah dengan kemungkinan besar untuk dapat diselesaikan dalam jangka pendek (dengan kata lain, permasalahan yang dapat diselesaikan cukup dengan proposal kebijakan tertentu—hindari masalah yang memerlukan perubahan terhadap konstitusi atau sistem peraturan secara keseluruhan)<br />f) Masalah yang didukung oleh mayoritas anggota asosiasi dan permasalahan kontroversial yang dihindari jajaran anggota<br />g) Masalah yang proaktif dan reaktif<br />h) Masalah yang tidak ditentang oleh golongan mayoritas di masyarakat, anggota dewan legislatif atau khalayak umum<br />i) Masalah yang tidak akan menghancurkan citra atau reputasi asosiasi<br /><br />4.1. MELAKUKAN SURVEY<br />Berdasarkan kriteria yang telah dipilih dan masukan dari para pemimpin asosiasi bisnis dan Komite Advokasi, anggota komite kemudian merancang survey dan mengirimkannya pada seluruh anggota asosiasi. Survey harus meminta anggota untuk:<br />a) Mengurutkan masalah-masalah yang diberikan sesuai tingkat prioritas<br />b) Mengurutkan seperangkat solusi yang diberikan untuk tiap-tiap masalah<br />c) Mengisi kuesioner dengan batas waktu tertentu<br />Jika memungkinkan, survey seperti ini harus dilakukan paling sedikit sekali dalam satu tahun untuk memastikan bahwa Komite Advokasi ini benar-benar memperjuangkan kepentingan anggotanya.<br />4.2. MENYELENGGARAKAN DISKUSI KELOMPOK TERARAH (FOCUS GROUP DISCUSSION).<br />Cara lain untuk memilih masalah kunci adalah dengan mengadakan pertemuan antara anggota komite dengan beberapa anggota asosiasi dalam kelompok-kelompok berbeda untuk membahas kebijakan yang menyangkut kepentingan mereka. Masing-masing Kelompok Kerja dipimpin oleh seorang anggota Komite yang akan mengarahkan diskusi untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan bisnis tertentu (berdasarkan kriteria yang disebutkan sebelumnya) dan kemudian membahas solusi langsung dari tiap-tiap permasalahan yang dimunculkan.<br /><br />4.3. MENETAPKAN PRIORITAS ADVOKASI<br /><br />Isu –Isu Prioritas<br />• Penting bagi anggota<br />• Jangka waktu yang jelas<br />• Dukungan publik<br />• Pengakuan secara politis<br />• Persamaan keberhasilan<br />• Dukungan<br /><br />Komite Advokasi tidak akan dapat memberikan advokasi untuk setiap permasalahan dari anggotanya. Untuk membatasi jumlah masalah yang akan diselesaikan, staf Kelompok Kerja (Pokja) perlu untuk:<br />a) Mengumpulkan hasil survei dan pertemuan dengan kelompok dalam daftar permasalahan<br />b) Memperhatikan anggaran yang ada untuk memutuskan seberapa banyak masalah yang bisa diselesaiakn dengan advokasi<br />c) Menghilangkan masalah-masalah yang berada paling bawah pada daftar prioritas berdasarkan ketersediaan anggaran<br />d) Membuat daftar yang berisi urutan prioritas masalah disertai solusi yang paling tepat untuk setiap masalah.<br />e) Menyerahkan daftar tersebut kepada jajaran pimpinan asosiasi untuk mendapatkan persetujuan<br />Ketika sebuah asosiasi memulai upaya advokasi disarankan agar prioritas masalahnya adalah yang dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Hal ini akan membantu menunjukkan pada anggota bahwa melakukan advokasi itu bermanfaat.<br /><br />Perhatikan Opini Publik<br />Pengaruh yang penting terhadap pengambilan keputusan pembuat kebijakan bersumber pada opini publik. Staf komite perlu mencari tahu opini publik berkenaan dengan masalah yang sedang berkembang. Hal ini akan membantu mencegah Komite Advokasi membuang-buang sumber daya untuk melakukan advokasi terhadap proposal kebijakan yang nyata-nyata ditentang publik. Terdapat berbagai macam cara untuk mengetahui opini publik. Pertama, cari tahu apakah telah diadakan polling atau survey mengenai masalah yang akan dibahas. Jika tidak ada survey yang dimaksud, staf komite, atau pihak profesional lain jika perlu, dapat dipekerjakan untuk melakukan survey opini publik melalui polling atau tes pada kelompok khusus.<br /><br />BAB III<br />MERUMUSKAN KELOMPOK SASARAN<br />Satu hal yang penting dari kampanye advokasi yang efektif adalah adanya target yang teridentifikasi secara tepat dan strategi yang digunakan untuk menjawab setiap permasalahan. Prioritas kampanye advokasi harus ditetapkan dengan mengidentifikasi target/sasaran dalam urutan yang tepat. Setiap aksi yang berkelanjutan harus dibangun berdasarkan pencapaian yang sudah diraih atau hal yang telah dikuasai.<br />Ada beberapa target atau sasaran advokasi, yang didalamnya mencakup target “orang dalam” dan “orang luar”.<br />Advokasi “orang dalam” melibatkan:<br />• Pertemuan-pertemuan dengan pembuat kebijakan dan staf legislatif.<br />• Pemberian analisis dan informasi untuk Panitia Kerja ataupun Panitia Khusus di lembaga legislatif.<br />Sedangkan advokasi “orang luar” meliputi:<br />• Mempengaruhi media massa.<br />• Mengembangkan aktivitas-aktivitas di tingkat akar rumput (grass root).<br />• Membangun koalisi.<br />Advokasi “Orang Dalam”<br />Jika sebuah masalah diidentifikasi secara dini, hubungan advokasi biasanya dimulai dari para pejabat publik. Kontak harus dibuat pada tingkat yang sewajarnya. Pejabat-pejabat tingkat bawah dan menengah tidak boleh terlupakan atau terlampaui. Ketika pejabat publik mempertimbangkan sebuah permasalahan yang diadvokasi, itu menandakan bahwa ia sudah mulai terpengaruh. Agar upaya itu berhasil, Komite Advokasi harus memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang proses pembuatan kebijakan atau peraturan.<br />Kegiatan formal dari advokasi akan melibatkan para pejabat publik dan politisi. Pertemuan dengan pejabat publik hampir dapat dipastikan akan berlangsung lama dan panjang dibanding pertemuan-pertemuan dengan para politisi. Oleh sebab itu Komite Advokasi membutuhkan pertimbangan dan persiapan untuk merajut serta merangkai hasil-hasil pertemuan tersebut sehingga hasilnya cukup efektif mendukung kebijakan asosiasi maupun organisasi bisnis.<br />Untuk membangun dan mengembangkan hubungan panjang yang positif serta menjadi bagian dari proses advokasi, dapat dipertimbangkan beberapa tindakan berikut:<br />• Memastikan para pejabat publik dan politisi terkait memiliki informasi tentang apa yang telah<br />dilakukan; siapa yang menjadi anggota; masalah-masalah yang tengah dihadapi; dan<br />tujuan-tujuan agenda bisnis / agenda advokasi oleh asosiasi atau organisasi bisnis.<br />• Mengundang pejabat publik dan politisi ke acara-acara organisasi pengusaha sehingga<br />mereka akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan para anggota secara informal.<br />• Mengundang pembuat kebijakan untuk berdiskusi, menjawab persoalan anggota pada<br />konferensi-konferensi, pertemuan komite-komite maupun panel-panel forum pembuatan<br />kebijakan yang diikuti oleh kelompok-kelompok anggota.<br />• Menawarkan kesempatan kepada pembuat kebijakan untuk mengunjungi dan bertemu langsung dengan anggota organisasi dan asosiasi bisnis.<br />• Sebagai Komite Advokasi pastikan menghadiri setiap sesi publik dan jika dimungkinkan berikan bukti-bukti yang diperlukan, pastikan pula mereka yang memiliki pengaruh mengetahui kehadiran atau keberadaan kita.<br />• Identifikasi dan pastikan kehadiran pejabat pemerintah ataupun badan-badan penasihat pemerintahan.<br />• Pastikan para pembuatan kebijakan secara teratur memperoleh bahan-bahan briefing yang berkualitas, termasuk masalah-masalah yang menjadi perhatian mereka.<br />• Pastikan bahwa pandangan-pandangan Komite Advokasi kita diperhitungkan para pembuat kebijakan.<br />Advokasi “Orang Luar”<br />Orang luar yang merupakan kunci dari pesan-pesan organisasi pengusaha adalah media cetak dan elektronik. Menangani pers dan reporter media elektronik secara efektif merupakan inti dari panduan ini. Akan tetapi terdapat beberapa strategi dan taktik penting dengan pertimbangan prestasi.<br />Kebanyakan organisasi pengusaha mencari peliputan media yang gratis dan tidak harus membayar media, seperti iklan. Dalam situasi tertentu, terkadang kita harus memilih memasang iklan dengan biaya tertentu ketika kita ingin menyampaikan pesan khusus bagi kelompok pembaca atau pengamat tanpa intervensi editorial.<br />Tujuan utama advokasi adalah memudahkan media mencari bahan berita ataupun pandangan “bisnis” yang diperoleh dari anggota yang berkompeten sebagai narasumber. Pendekatan kepada media harus strategis. Pastikan para wartawan mengetahui kegiatan yang dilakukan organisasi dan asosiasi bisnis, anggota organisasi, permasalahan yang dihadapi dan tujuan agenda bisnis atau advokasi. Ciptakan reputasi dengan membuat materi yang berkualitas dan berguna untuk mereka. Lakukan siaran pers dan berikan materi publikasi lainnya.<br />Bersikap responsif ketika menyampaikan informasi dan materi. Melalui pengelolaan hubungan yang positif dan proaktif dengan pers, besar kemungkinan akan berhasil menciptakan peliputan media yang mengesankan. Tidak hanya itu, kemungkinan akan muncul kesempatan untuk menjadi pihak pertama yang dihubungi manakala berita penting muncul.<br />5.1. MENGIDENTIFIKASI PENDUKUNG DAN PENENTANG<br />Usaha advokasi yang berhasil juga memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai siapa yang mendukung atau menentang isu tertentu dan penyebabnya. Berdasarkan hal-hal pokok dengan daya pengaruh yang telah diidentifikasi sebelumnya, staf harus mencari tahu posisi dari pembuat kebijakan dari setiap isu. Hal ini bisa dilakukan dengan membaca publikasi, briefing dari kantor pembuat kebijakan, dari situs atau berbicara secara langsung dengan staf pembuat kebijakan. Informasi ini harus diatur dengan rapi sehingga apa yang menjadi posisi masing¬masing pembuat kebijakan dapat dimengerti dengan mudah dan jelas. Jika memungkinkan, buat tabel yang memperlihatkan kandidat yang mendukung, menentang, dan abstain mengenai setiap isu.<br />Posisi pembuat kebijakan seringkali dipengaruhi oleh kepentingan kelompok berpengaruh, maka anggota komite advokasi perlu mengidentifikasi kelompok-kelompok berpengaruh yang mendukung atau menentang permasalahan yang ada. Untuk setiap isu, staf perlu untuk mencari tahu posisi masing-masing kelompok berpengaruh tersebut dan alasannya. Hal ini termasuk dengan cara mendapatkan publikasi dan bahan-bahan dari setiap kelompok atau, jika perlu, mengadakan pertemuan dengan perwakilan kelompok tingkat tinggi untuk membahas isu terkait. Berdasarkan hasil riset ini, staf komite harus membuat tabel yang menunjukkan organisasi-organisasi yang mendukung, menentang dan abstain untuk tiap-tiap isu.<br />Staf advokasi dengan demikian akan mengetahui:<br />• Pembuat kebijakan penting yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan mengenai permasalahan tertentu<br />• Aktor penentu yang terkait dan berpengaruh terhadap permasalahan tersebut<br />• Arah dari kebijakan yang ditetapkan<br />Staf harus menggunakan informasi ini untuk mengembangkan strategi advokasi yang efektif.<br />5.2. MENGATUR KELOMPOK-KELOMPOK KERJA AGENDA BISNIS NASIONAL (ABN)<br />Dalam melakukan advokasi yang isu atau permasalahannya mencakup lingkup nasional, biasanya disiapkan sebuah Agenda Bisnis Nasional (ABN). Saat mengembangkan sebuah Agenda Bisnis Nasional (ABN), bentuk pengorganisasiannya lebih kompleks karena kebijakannya berdimensi banyak. Strukturnya terdiri atas Dewan Pengarah, Dewan Penasihat dan Kelompok-kelompok Kerja. Sebuah ABN akan lebih banyak melibatkan asosiasi sektoral berikut narasumbernya.<br />Asosiasi dan organisasi bisnis memulai dengan mengatur kelompok-kelompok kerja. Kelompok¬kelompok ini bekerja untuk industri, kawasan, atau sesuai isu yang spesifik guna mengeitahui kendala dan merancang serangkaian rekomendasi untuk mengatasi kendala tersebut. Kelompok kerja berkonsentrasi pada sebuah bidang kebijakan yang khusus dan mengyusun konsepnya dalam Agenda Bisnis Nasional (ABN). Dewan penasihat kemudian menyusun konsep-konsep tersebut menjadi sebuah agenda final. Setiap kelompok kerja memiliki tujuan yang sama: untuk mengidentifikasi kendala dalam menjalankan bisnis, dan mengajukan perbaikan untuk mengatasi kendala tersebut.<br />Para pemimpin asosiasi dan organisasi bisnis harus membentuk kelompok kerja berdasarkan industri atau kawasan mereka. Jika dewan penasehat telah mengidentifikasi bidang-bidang masalah utama dari kebijakan yang perlu ditangani, kelompok-kelompok kerja dapat pula diatur sesuai masing-masing isu.<br />Strategi yang baik yaitu mengelompokkan para pemimpin bisnis berdasarkan kepentingan¬kepentingan industri atau kawasan yang sama. Hal ini memberikan kesempatan kepada para partisipan untuk memfokuskan diri pada bidang-bidang yang menjadi kepentingan khusus bagi mereka, dan membuat pengembangan agenda akhir menjadi lebih mudah.<br />Alternatif lain adalah mengelompokkan mereka berdasarkan isu-isu spesifik. Hal ini dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan langkah-langkah yang dapat menggabungkan kebutuhan industri-industri dan kawasan-kawasan yang berbeda.<br />Beberapa pemimpin asosiasi dan organisasi bisnis mungkin berkeinginan untuk berpartisipasi di dalam lebih dari satu kelompok kerja. Keadaan ini dapat diterima dan dapat menyokong keterlibatan sektor swasta. Namun, kelompok-kelompok kerja harus dibatasi jumlahnya. Partisipan yang terlalu sedikit dapat berarti bahwa kelompok itu bukan mewakili komunitas bisnis; sedangkan apabila terlalu banyak maka pertemuan dapat menjadi tidak fokus dan tidak produktif. Jumlah kelompok-kelompok kerja tergantung pada berapa banyak pemimpin bisnis yang bersedia berpartisipasi dan berapa banyak kawasan atau sektor bisnis yang diwakili.<br />Memilih Seorang Fasilitator Pertemuan bagi setiap Kelompok Kerja<br /><br />Seorang fasilitator memastikan bahwa kelompok tetap fokus pada pengidentifikasian halangan¬halangan utama dalam menjalankan bisnis dan mengajukan solusinya. Ia harus merupakan anggota dari kelompok kerja atau seseorang yang memahami kebutuhan-kebutuhan kawasan atau sektor bisnis dari para anggota kelompok kerja. Fasilitator dapat ditunjuk oleh dewan penasehat atau dipilih oleh kelompok kerjanya.<br />Menyusun Daftar Anggota Kelompok Kerja<br /><br />Bila kelompok kerja telah terbentuk dan fasilitator telah dipilih, maka koordinator proyek harus memberikan daftar anggota kelompok kerja kepada fasilitator serta ke mana harus menghubungi mereka (contact information).<br />Contoh Target Kelompok Kerja<br /><br />Agenda Bisnis Nasional<br />Tantangan : Pengurangan Pajak<br />Target tahun 2005:<br />• Melanjutkan upaya untuk mengurangi pajak;<br />• Mengusahakan pengenalan sistem perpajakan yang proporsional;<br />• Mengusahakan pengurangan pajak penjualan (PPn);<br />• Mengusahakan perubahan-perubahan terhadap Undang-undang Ketenagakerjaan<br />Target Jangka Panjang<br />• Berjuang untuk penghapusan pajak berganda;<br />• Mengurangi pajak dan kontribusi atas upah pada tingkat tertentu;<br />• Mengusahakan penetapan lingkungan pajak jangka panjang yang stabil dan adil<br />• Memberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai politik pajak yang mempengaruhi perkembangan ekonomi.<br /><br />5.3. MERANCANG PESAN KEPADA PUBLIK<br /><br />Strategi advokasi memerlukan komunikasi efektif dengan beragam audien untuk:<br />• Memperoleh dukungan dari yang abstain<br />• Memperoleh dukungan dari individu dan kelompok yang sebelumnya menentang<br />• Memperkuat komitmen dari pendukung yang sudah ada<br /><br />Untuk mencapai semua ini, bahan advokasi perlu ditargetkan kepada masyarakat yang sedang anda coba untuk pengaruhi dan bahan tersebut harus disampaikan tepat waktu. Dalam beberapa kasus, misalnya, anda perlu untuk menyampaikan permasalahan secara singkat dan langsung; dalam kesempatan lain, anda mungkin perlu untuk memberikan perlakuan yang lebih intensif untuk dapat menjadi persuasif.<br /><br />Dalam setiap kasus, pesan yang disampaikan harus:<br />• Menampung kepentingan masyarakat<br />• Meyakinkan dengan memberikan penjelasan mengapa permasalahan itu penting dan membutuhkan dukungan<br />• Singkat, langsung pada pokok permasalahan<br />• Tunjukkan langkah-langkah yang perlu dilakukan jika memang ada<br />• Persiapkan juga jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang dapat diantisipasi<br />Pesan pada pembuat kebijakan harus mencakup:<br />• Mengapa permasalahan ini penting<br />• Berapa jumlah orang dan/atau kelompok yang mendukungnya (daftar tanda tangan dapat sangat meyakinkan)<br />• Bagaimana dampak positif dan negatif proposal yang diajukan<br />• Bagaimana proposal tersebut akan membantu atau mengganggu konstituen tertentu seperti pekerja, investor, pemasok dan pembeli<br />• Bagaimana pandangan partai politik pembuat kebijakan terhadap aksi yang diusulkan<br />• Hal-hal apa yang perlu untuk dilakukan secara khusus (antara lain kebijakan, hukum atau peraturan mana yang perlu untuk dilaksanakan, dihapuskan atau direvisi)<br />• Bahasa atau rancangan aktual dari hukum, kebijakan atau peraturan yang diusulkan<br />Terdapat sejumlah media yang tersedia untuk membantu anda menyampaikan pesan pada audien, meliputi:<br />• Press release<br />• Briefing<br />• Position Paper atau makalah posisi kebijakan<br />• Materi op-ed (opini editor)<br />• Lembaran fakta (yang menjawab pertanyaan yang seringkali ditanyakan)<br />• Pidato (yang disampaikan dalam testimonial, seminar, rapat kerja, konferensi)<br />• Press kit<br />Dengan menyiapkan bahan-bahan tersebut di atas sesegera mungkin dan mengirimkannya kepada pihak-pihak berpengaruh dan masyarakat pada waktu yang tepat akan membantu asosiasi untuk mempengaruhi debat kebijakan, termasuk pula hasil putusan akhirnya sebagaimana yang diharapkan. Inilah sebenarnya tujuan utama dari advokasi.<br />Advokasi efektif memungkinkan informasi yang penting dan relevan dengan kebijakan dapat tersedia secara luas bagi beberapa pihak berpengaruh yang dapat mempengaruhi kebijakan publik. Pihak-pihak berpengaruh tersebut meliputi:<br />1. Media yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari keberadaan asosiasi bisnis dan komentar serta kritikan dari para think tank. Jurnalis mengumpulkan banyak sekali informasi dari sumber resmi pemerintah, akan tetapi mereka dapat menganalisais informasi ini<br />dengan lebih baik jika mereka mau mendengarkan aspirasi dari asosiasi bisnis dan think<br />tank.<br />2. Kalangan hukum yang memerlukan informasi mendalam karena kebijakan dapat mempengaruhi hidup masyarakat. Warga masyarakat, dalam banyak hal, akan memutuskan apakah akan memilih kembali wakil rakyat yang sama atau tidak. Kebijakan yang kuat mendukung lingkungan bisnis yang bersahabat, reformasi berorientasi pasar yang maju dan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Iklim bisnis yang ramah menarik investasi dan menstimulasi kewirausahaan yang pada gilirannya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan berkualitas dengan gaji memadai.<br />3. Pembuat peraturan, birokrat dan administratur yang apabila diberikan informasi yang solid mengenai tujuan utama dari kebijakan dan peraturan tertentu akan dapat mengimplementasikan dan menegakkan peraturan tersebut dengan lebih baik.<br />4. Khalayak umum termasuk para anggota asosiasi bisnis yang mempengaruhi pembuatan kebijakan. Dengan memiliki akses terhadap informasi kunci tentang kebijakan tertentu dapat mendidik anggota asosiasi bisnis dan publik berkenaan dengan kebijakan yang mempengaruhi mereka dan membantu mereka mengetahui apa yang dilakukan oleh pejabat terpilih—atau yang gagal dilakukan—atas nama mereka. Warga masyarakat dan asosiasi bisnis selanjutnya akan menganggap wakil rakyat ini dapat mengemban tanggung jawab.<br /><br />BAB IV<br />ADVOKASI YANG BERTARGET<br />Pilih orang yang akan menyampaikan pesan. Idealnya, penyampai pesan tersebut harus:<br />• Pembicara yang bagus, komunikatif baik secara formal maupun informal<br />• Memiliki pengetahuan yang luas dan memiliki kompetensi tinggi berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, lebih baik jika memiliki pengalaman pribadi berkenaan dengan permasalahan yang ada<br />• Pembicara yang memiliki hubungan baik dengan masyarakat sangat direkomendasikan<br />Penyampai pesan atau juru bicara harus memiliki:<br />• Pengalaman berhubungan dengan media<br />• Keahlian berkomunikasi secara lisan dan tulisan<br />• Kemampuan untuk bergaul dengan berbagai macam tipe orang<br />• Pemahaman yang solid dalam mengangani proses pembuatan keputusan<br />• Pemahaman yang mendalam tentang isu yang diangkat<br />• Hubungan kerja yang baik dengan pejabat pemerintah, stafnya dan dengan asosiasi yang terkait<br /><br />o Membangun koalisi yang efektif<br />Koalisi adalah cara untuk meningkatkan jumlah organisasi dan individu yang mendukung posisi organisasi dan asosiasi bisnis. Koalisi penting dibentuk terutama bila asosiasi hanya memiliki sedikit anggota namun dipihak lain membutuhkan banyak dukungan agar usulan perubahan diterima. Semakin banyak pendukung, semakin besar kemungkinan pembuat kebijakan akan mendengarkan. Koalisi harus mengembangkan visi dan kredibilitas upaya advokasi. Akan lebih banyak yang bisa dicapai jika koalisi dilakukan dengan tulus dan tidak untuk mencari pujian atau sekedar demi kepentingan tertentu.<br />Tips dan tahapan membangun koalisi adalah sebagai berikut: 3 Gunakan informasi yang telah dikumpulkan<br />3 Hubungi pimpinan organisasi yang mendukung posisi asosiasi<br />3 Tanya apakah mereka bersedia membangun koalisi untuk mengajukan isu yang menjadi permasalahan bersama<br />3 Atur pertemuan dengan tokoh penentu masing-masing organisasi<br />3 Tanyakan sejauh mana mereka bersedia terlibat dalam aktifvitas koalisi<br />3 Anggota koalisi perlu sepakat mengenai hal-hal berikut:<br />o Rantai komando<br />o Pembagian tugas<br />o Strategi dan jadwal advokasi<br />o Pengaturan dana<br />o Juru bicara koalisi<br />o Koordinator koalisi<br />o Pesan bersama<br />Satukan posisi berdasarkan fakta dan hasil riset mutakhir, kompromikan pesan bersama asosiasi, adakan sedikit penyesuaian posisi masing-masing, tanpa mengabaikan tujuan dan target asosiasi yang belum disepakati. Langkah ini ini perlu dilakukan untuk menyatukan suara agar hasil yang dicapai lebih efektif.<br />Koordinator koalisi harus berkomunikasi secara teratur dengan mitra koalisi untuk memastikan bahwa mereka saling mengetahui mengenai kegiatan, acara, rencana dan perkembangannya untuk pencapaian tujuan maupun pelaksanaan tugas koalisi. Koordinator misalnya perlu memberikan pengumuman kepada anggota koalisi mengenai acara penting seperti dengar pendapat, debat atau konferensi sehingga mereka dapat berpartisipasi. Dengan demikian ini juga akan semakin meningkatkan ikatan solidaritas dan komitment terhadap koalisi. Koordinator koalisi harus mendapatkan dukungan dari kelompok lain yang tertarik pada isu yang ada namun tidak bergabung dalam koalisi. Dalam hal ini mereka perlu diberi materi advokasi yang relevan baik dari asosiasi anda sendiri maupun dari koalisi. Dukungan dari kelompok-kelompok organisasi yang ada akan semakin meningkatkan kemungkinan bahwa pembuat kebijakan akan memperhatikan rekomendasi anda dengan sungguh-sungguh.<br />~ Mengembangkan dan mengadvokasi agenda bisnis nasional<br />Agenda bisnis nasional mengidentifikasi hukum dan peraturan yang menghambat aktivitas bisnis dan menawarkan rekomendasi dan reformasi yang kongkret untuk menghilangkan segala hambatan dan memperbaiki iklim bisnis. Mengembangkan sebuah agenda bisnis nasional juga mendidik sektor swasta memahami kebijakan publik yang mempengaruhi kegiatan mereka dan memberikan kesempatan untuk menyampaikan permasalahan komunitas bisnis kepada pejabat pemerintah dalam suara tunggal, meningkatkan kemungkinan bahwa agenda mereka akan disetujui.<br />Kunci untuk mengembangkan agenda bisnis adalah dengan mendorong partisipasi dengan memperhatikan kebutuhan wilayah dan industri tertentu dan memberikan komunitas bisnis rasa kepemilikan pada produk finalnya. Pimpinan bisnis harus mengambil inisiatif dalam mengatur berbagai kelompok bisnis dan membentuk koalisi yang dapat mencapai konsensus dalam isu utama.<br />Ketika anggota Federasi Industri Mesir mengembangkan agenda bisnis nasional, mereka melakukan langkah-langkah berikut:<br />• Menganalisa kebijakan dan membuat rekomendasi;<br />• Mengadakan pertemuan dengan anggota dalam forum terbuka untuk membahas alternatif solusi;<br />• Melakukan publikasi melalui media untuk mendapatkan input dari pihak terkait;<br />• Memformulasikan program reformasi kebijakan;<br />• Mempublikasikan agenda; dan<br />• Melakukan advokasi yang diarahkan pada pemerintah, termasuk eksekutif dan legislatif.<br />o Mengembangkan dan menerapkan program layanan advokasi legislatif yang berhasil Petunjuk penting ketika mengadakan pertemuan dengan pembuat kebijakan:<br />• Singkat<br />• Faktual<br />• Mulai dengan ide utama<br />• Siapkan dokumentasi<br />• Siapkan rancangan peraturan atau proposal kebijakan<br />• Minta dukungannya secara khusus mengenai isu tertentu dengan memberikan suara, sponsor atau dukungan pada saat pembahasan dalam sidang legislative<br /><br />BAB V<br />KASUS – KASUS<br />1. RUU Penanaman Modal<br />Tantangan : Memperbarui RUU Penanaman Modal<br />Target Tahun 2006:<br />• Revisi RUU Penanaman Modal yang mendukung perbaikan iklim investasi yang lebih sehat dan berdaya saing tinggi<br />• Insentif Bagi investor<br />• Perhatian terhadap Industri Kecil<br />• Pembentukan Komite Investasi<br />• Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu<br /><br />Target Jangka Panjang<br />• Memperbaiki peraturan-peraturan yang menghambat investasi<br />• Pemisahaan antara fungsi promosi investasi dan regulasi investasi<br /><br />Dalam melakukan advokasi RUU Penanaman Modal, Kadin Indonesia membentuk Tim advokasi RUU Penanaman Modal yang diketuai oleh Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Investasi, Perhubungan, Informatika, Telekomunikasi dan Pariwisata. Tim advokasi ini bertugas untuk:<br />• mengkaji perbandingan peraturan bidang investasi di beberapa negara tetangga<br />• mengadakan rapat bersama asosiasi dan pakar untuk menampung masukan<br />• menyampaikan usulan dunia usaha atas RUU Penanaman Modal kepada instansi<br />pemerintah terkait dan Badan Koordinasi Penanaman Modal<br />• menyampaikan masukan kepada lembaga legislatif dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR RI.<br /><br />2. Revisi UU Perpajakan di Dewan Perwakilan Rakyat.<br />Kadin Indonesia bersama berbagai asosiasi terkait dan para profesional di bidang perpajakan dan keuangan membentuk tim yang memberi masukan atas RUU Perpajakan. Tim Revisi UU Perpajakan dipimpin oleh Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan Sistem Fiskal. Tim melakukan strategi antara lain:<br />a. Melakukan kajian atas berbagai pasal dalam RUU Perpajakan versi pemerintah sepanjang Tahun 2005.<br />b. Menyusun usulan dan komentar atas berbagai pasal dalam RUU Perpajakan<br />c. Mengadakan diskusi bersama Direktorat Jenderal Pajak untuk menyampaikan masukan Kadin dan dunia usaha pada umumnya.<br />d. Menyampaikan masukan atas RUU Perpajakan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR RI.<br />Target:<br />a. Menghapus hambatan sistem perpajakan dalam kegiatan usaha dan investasi<br />b. Terciptanya peraturan perpajakan yang lebih adil yang mampu meningkatkan kepatuhan sukarela masyarakat untuk membayar pajak dan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.<br />3. UMKM CENTRE KOTA TERNATE<br />Kamar Dagang dan Industri Kota Ternate bersama Pemerintah Kota Ternate telah mendirikan UMKM Centre tahun 2006 yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Ternate. Mengenai pendanaan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Walikota Ternate Nomor 217/2/Kota-Tte/2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Serta Satuan Pelaksana UMKM Centre Kota Ternate.<br />a. Survey<br />UMKM Centre Kota Ternate telah melakukan survey dan analisis pada Program pendapatan Komoditi Unggulan Pelaku UMKM di kota Ternate. Survey dilakukan dengan metode Deep Interview (wawancara secara langsung) dengan mengambil sample sebanyak 46 pelaku UMKM berdasarkan data sekunder Dinas Koperindag Kota Ternate.<br /><br />b. Penggalangan Pendapat<br />UMKM Centre Kota Ternate melakukan pendekatan multi stakeholder dengan menggelar berbagai pertemuan, antara lain pertemuan dengan pelaku UMKM di Sekretariat Kadin Maluku Utara, pertemuan dengan Bank Indonesia cabang Ternate, Pemda Kota Ternate, Pemda Provinsi Maluku Utara, DPRD, Perbankan se-Kota Ternate juga dengan pihak lainnya seperti UNDP, Badan Pusat Statistik,<br />Badan Pertanahan Nasional, Balai Pertanian juga dengan berbagai perguruan tinggi di Maluku Utara.<br /><br />c. Press Release<br />Dalam setiap melakukan kegiatannya/program UMKM Centre, baik sebelum dan sesudah pelaksanaan program selalu melakukan press release dengan media massa setempat, antara lain Koran Malut Pos, Mimbar Kieraha, Tribun Malut dan Radio Diahi.<br /><br />d. Koalisi UMKM Centre<br />UMKM Centre melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan Pengembangan Sektor UMKM, antara lain Pemerintah Daerah, Bank Indonesia dan Perbankan sekota Ternate, Perguruan Tinggi, UNDP Perwakilan Maluku Utara dan instansi terkait lainnya.<br /><br />e. Penggalangan Dana<br />Dana bagi pelaksanaan program UMKM Centre bersumber dari dana sharing antara Kadin Provinsi Maluku Utara dengan Pemda Kota Ternate (APBD Kota Ternate tahun 2007).<br /><br />4. BADAN PROMOSI DAN PENGELOLAAN KETERKAITAN USAHA (BPPKU) KOTA BANDUNG<br /><br />Para pengusaha di berbagai bidang usaha di Kota Bandung merasa memerlukan suatu lembaga maupun badan yang bertugas untuk mengatur maupun untuk mengkoordinasikan terhadap kegiatan promosi dan pengelolaan usaha secara terpadu dan terintegrasi. Para pengusaha melalui Kadin Kota Bandung mengusulkan kepada Pemerintah Kota Bandung untuk bekerjasama dalam pembentukan lembaga yang kemudian dinamakan Badan Promosi dan Pengelolaan Keterkaitan Usaha (BPPKU). Pemerintah Kota Bandung menanggapi dan merespons usulan tersebut dan memberikan dukungan dana dan dasar hukum pembentukan lembaga atau badan tersebut.<br />Tujuan BPPKU ini semua pelaku usaha di Kota Bandung dapat mengkoordinasikan, kerjasama antar industri hulu dan hilir serta mempromosikan barang-barang produksi Bandung dan daerah Bandung sebagai tujuan investasi. BPPKU Kota Bandung dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bandung Tahun 1997 tentang Pembentukan Badan Promosi dan Pengelolaan Keterkaitan Usaha Kota Bandung, yang kemudian diubah melalui SK Walikota Bandung Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Promosi dan Pengelolaan Keterkaitan Usaha (BPPKU) dan Pos Ekonomi Rakyat (PER)/ Klinik Konsultasi Bisnis (KKB); serta SK terakhir adalah Tahun 2006 tentang Pembentukan BPPKU Kota Bandung.<br />Badan Promosi dan Pengelolaan Keterkaitan Usaha (BPPKU) adalah sebagai wadah untuk membantu pengembangan usaha kecil, menegah dan koperasi agar menjadi pengusaha yang tangguh, kuat dan mandiri dalam pengembangan usahanya. BPPKU melalui Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) adalah wadah konsultasi UKMK untuk meningkatkan dan mengembangkan pengusaha kecil, menengah dan koperasi menjadi perusahaan yang tangguh, kuat dan mandiri. Dana operasional kegiatan BPPKU/KKB Kota Bandung diperoleh dari APBD melalui Bagian Ekonomi Pemda Kota Bandung.<br /><br />Sasaran BPPKU Kota Bandung<br />Peningkatan kemampuan pengusaha kecil, khususnya di Kota Bandung dalam mengembangkan usahanya sebagai model pengembangan yang ditindaklanjuti oleh pembina setempat.<br />Meningkatkan kualitas manajemen usaha kecil dengan parameter terlaksananya sistem informasi manajemen berupa: rencana usaha (business plan); sistem manajemen; sistem pelaporan; peningkatan kemudahan dalam mengakses sumber daya; sumber daya keuangan; sumber modal dari lembaga-lembaga keuangan baik dari bank maupun dari non-bank; peningkatan usaha; dan sumber daya teknologi.<br />Peningkatan kemudahan dalam mengakses pasar, baik lokal maupun pasar ekspor, melalui cara konvensional maupun melalui jaringan internet.<br /><br />Program Unggulan BPPKU Kota Bandung Program Inkubator Bisnis UMKM.<br />Program Reguler Pendampingan UMKM (Technical Assistant<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-80470371254422344792010-01-08T19:33:00.001+07:002010-01-08T19:34:11.822+07:00USULAN PENULISAN HUKUM : DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTAA. Latar Belakang Masalah<br />Negara Indonesia merupakan suatu Negara Hukum yang semua warga negaranya mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law), Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan Negara Indonesia adalah negara hukum, yang berarti setiap masalah atau konflik yang terjadi harus diselesaikan berdasar atas aturan hukum, segala hal diatas juga ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) yang menentukan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualiannya. Ini juga sesuai dengan Pancasila khususnya sila ke-5yang berbunyi “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia ”, yang bermakna terciptanya keadilan di semua bidang kehidupan. Namun demikian secara sosiologis menunjukan adanya lapisan sosial berbeda secara terselubung atau diam-diam. Pelapisan sosial (stratifikasi) ini disebabkan oleh beberapa faktor utama antara lain: faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor jabatan. Adanya stratifikasi ini dapat mempengaruhi penerapan hukum yang tidak objektif, yang berarti bahwa di dalamnya terjadi diskriminasi, dengan adanya diskriminasi akan membawa suatu penyelasaian akhir atau hasil akhiryang jauh dari rasa keadilan.<br /><div class="fullpost"><br />Sejalan dengan konsep Negara Hukum, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegang teguh asas “Rule of Law”. Untuk menegakkan Rule of Law para hakim dan mahkamah pengadilan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:<br />a. Supremasi Hukum<br />b. Equality Before the Law<br />c. Human Rights<br />Ketiga hal tersebut adalah konsekuensi logis dari prinsip – prinsip Negara hukum. Yakni :<br />a. Asas Legalitas (Principle of Legality)<br />b. Asas Perlindungan HAM (Principle of Protection of Human Rights)<br />c. Asas Peradilan Bebas (Free Justice Principle)<br />Berdasarkan pada fungsi peradilan diatas maka perilaku jajaran aparat penegak hukum, khususnya perilaku hakim menjadi salah satu barometer utama untuk melihat keberhasilan, keobyektifan, dari proses penegakan hukum yaitu terwujud dalam putusannya, sehingga dapat untuk mengukur tegak tidaknya hukum dan undang – undang. Aparat penegak hukum menjadi titik netral dalam proses penegakan hukumyang harus memberikan teladan dalam menjalankan hukum dan undang - undang.<br />Dalam praktek, prinsip - prinsip peradilan yang bebas tidak selalu konsisten diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan praktek peradilan, sering terjadi kesenjangan dalam putusan terhadap pelaku tindak pidana sehingga bermunculan issuyang seringkali muncul seperti, mafia peradilan, menyuap, konspirasi, KUHP disingkat menjadi (Kasih Uang Habis Perkara), dan istilah - istilah lain. Issu seperti ini akan muncul ketika terjadi ketidakadilan dalam proses peradilan.<br />Dalam dunia hukum terjadinya perbedaan menyolok dalam proses penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau berkarakter sama, biasa disebut Disparitas Pidana. Adanya disparitas pidana ini menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Paling tidak ada dua aspekyang menonjol, yaitu tentang hak – hak apa yang menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan dan dampak akan akibat apa yang muncul dari disparitas pidana.<br />Atas dasar pemikiran sebagaimana diuraikan diatas maka kelompok ini mencoba mengangkat judul yang menyangkut tentang disparitas pidana dalam perkara korupsi, tujuan dari pemilihan judul adalah untuk mengetahui secara dekat tentang halyang menyebabkan terjadinya disparitas dalam tindak pidana korupsi.<br />A. Rumusan Masalah<br />Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu ; Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam memberikan disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi?<br />B. Tujuan Penelitian<br />Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam memberikan disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-37748390418886004872010-01-08T19:32:00.001+07:002010-01-08T19:33:18.170+07:00HAK IMUNITAS ADVOKATHAK IMUNITAS ADVOKAT<br /><br />A. Latar Belakang<br />Profesi advokat atau pengacara, konsutan hukum, mediator, dan notaris menimbulkan polemik tersendiri dalam masyarakat. Masyarakat dibingungkan dengan istilah yang serupa tapi tak sama tersebut. Dari masing-masing profesi tersebut memiliki pengertian yang sesungguhnya berbeda-beda, namun masih dalam satu ruang lingkup yaitu bahwa kesemuanya itu merupakan profesi dibidang hukum.<br />Perbedaan secara yuridis formil antara semua profesi tersebut sesungguhnya ada pada undang-undang yang mengaturnya. Menurut pakar hukum Firman Wijaya, dikemukakan bahwa pemahaman mengenai ruang lingkup advokat bisa dilihat dalam lingkup sempit dan luas. Konteks sempit adalah bahwa terdapat pandangan advokat itu hanya memiliki tugas-tugas advokasi, tugas-tugas pembelaan di ruang persidangan. Sedangkan dalam konteks luas adalah bahwa ruang lingkup advokat tidak semata-mata di luar ataupun di dalam persidangan setapi dalam bentuk advokasi struktural dan peradilan. Jadi ada advokasi litigasi dan non-litigas. Keduanya memiliki tugasyang sifatnya pembantuan yang substansinya adalah memberikan nasehat atau pendapat tentang persoalan hukum. <br /><div class="fullpost"><br />Lebih lanjut menurutnya bahwa mengenai fungsi notaris adalah sebagai pejabat negara yang bertugas mencatat akta. Kemudian mediator adalah profesi yang tidak menjalankan fungsi advokasi, melainkan memfasilitasi kepentingan orang untuk mempertemukan dalam suatu titik yang temu atau solusi dari permasalahan hukum yang terjadi. Profesi konsultan hukum sendiri merupakan bagian dari profesi advokat yang mempunyai fungsi advokasi, karena bagi seorang advokat memberikan pendapat hukum merupakan bagian dari tugas-tugasnya yaitu pembelaan dan mewakili kepentingan klien.<br />Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU No. 18 tahun 2003), pada Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Advokat adalahorang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”.<br />Jasa hukum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 tersebut mempunyai pengertian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 18 tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.<br />Klien yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 tersebut adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat. Hal ini terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 18 tahun 2003. Sedangkan untuk dapat diangkat menjadi seorang advokat harus memenuhi persyaratanyang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) undang-undang tersebut yaitu:<br />a. warga negara Republik Indonesia;<br />b. bertempat tinggal di Indonesia;<br />c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;<br />d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;<br />e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);<br />f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;<br />g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;<br />h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;<br />i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.<br />Seorang advokat adalah berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Wilayah kerja advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 5 UU No. 18 tahun 2003. Maksud dari “advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.<br />Menurut praktisi hukum dari Ikatan Advokat Indonesia (IAI) Mulyadi, menyatakan bahwa sebelum diberlakukannya UU No. 18 tahun 2003, maka yang dimaksud dengan advokat adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseorang yang mempunyai izin praktek beracara di pengadilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan pengacara biasa adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum di dalam pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktek beracara yang dimilikinya. Namun setelah diberlakukannya UU No. 18 tahun 2003, maka tidak lagi dikenal istilah pengacara biasa (pengacara praktek), karena berdasarkan Pasal 32 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa advokat, penasihat hukum, pengacara parktek, dan konsultan hukumyang telah diangkat pada saat UU No. 18 tahun 2003 mulai berlaku dinyatakan sebagai advokat.<br />Dalam UU No.18 tahun 2003 tersebut juga diatur mengenai hak imunitas atau kekebalan hukum terhadap seseorang advokat dalam menjalankan profesinya. Mengenai hak imunitas tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 14, 15, dan 16 UU No.18 tahun 2003yang menyatakan sebagai berikut:<br />Pasal 14 : Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. (Penjelasan:Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan)<br />Pasal 15 : Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. (Penjelasan: Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat).<br />Pasal 16 : Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. (Penjelasan:Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya. Danyang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan).<br />Pasal 17 : Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Penjelasan: cukup jelas).<br /><br />Terkait dengan hak imunitas dari seseorang yang berprofesi sebagai advokat tersebut, terdapat beberapa ketidakjelasan yang ditimbulkan, diantaranya adalah bahwa masih adanya advokat yang dituntut ke muka pengadilan karena menjalankan tugasnya sebagai salah satu pilar penegak hukum.<br />Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi dari hal tersebut di atas adalah sidang kasus penggelapan dan pencurian dengan terdakwa Kabunang Rudyanto Hunga (Advokat) dan Ny Nurkhunufah (Klien Kabunang R.H.) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang.<br />Diseretnya Kabunang dan kliennya sebagai terdakwa diawali oleh disomasinya Nurkhunufah oleh lembaga advokasi hukum di Semarang selaku kuasa hukum dari Maksun Pinarto (Komisaris perusahaan) pada tanggal 6 Mei 2002. Surat somasi menyebutkan Nurkhunufah (Direktur perusahaan) tidak boleh lagi beraktivitas di kantor perusahaanjasa pengiriman tenaga kerja PT. Andromeda Graha Jateng, Jalan Pekojan Selatan, Semarang. Oleh karena itu Nurkhunufah meminta bantuan advokasi dari seorang advokat yaitu Kabunang Rudyanto Hunga (Kabunang). Kabunang memberikan saran kepada kliennya untuk memindahkan seluruh peralatan kerja di kantor ke rumah Nurkhunufah di Jalan Selomas Raya,Semarang . Tujuannya, ialah agar Nurkhunufah tetap dapat menjalankan tugasnya seperti biasa. Setelah memindahkan barang-barang pada tanggal 10 dan 12 Mei 2002, Maksun melapor ke polisi bahwa istri dan pengacaranya melakukan pencurian. Akibatnya, Kabunang dan kliennya pun menjadi terdakwa.<br />Terhadap kasus di atas, menurut Ketua tim kuasa hukum Kabunang yang terdiri dari 48 orang dan menamakan diri sebagai Tim Pembela dan Penegak Profesi Advokat Semarang. Djunaedi, yang juga Koordinator Wilayah IKADIN Jawa Tengah, berpendapat bahwa persidangan kasus Kabunang Rudyanto Hunga (Advokat) dan Ny Nurkhunufah (Klien Kabunang R.H.) di Pengadilan Negeri Semarang tersebut harus dikritisi. Kabunang Rudyanto Hunga bertindak sebagai advokat sehingga, sesuai dengan UU No. 18 tahun 2003 yang mengatur soal imunitas pengacara. Hal ini juga terdapat dalam surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, yang menyatakan bahwa posisi Rudy sebagai pengacara saat kasus pencurian dan penggelapan terjadi. Oleh karenanya Majelis Hakim diharapkan memutus bebas terdakwa, dengan berdasar pada UU No. 18 tahun 2003 yang mengatur hak imunitas advokat.<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-84663858857644186422010-01-08T19:29:00.001+07:002010-01-08T19:30:24.649+07:00PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS TEWASNYA SEORANG PETINJU (Studi Kasus: Kematian Petinju Anis Dwi Mulya)A. Latar Belakang<br />Tinju adalah salah satu cabang olah raga yang sangat populer dan digemari oleh masyarakat luas. Olah raga ini tidak kalah populernya dengan olah raga lainnya di Indonesia. Hampir setiap pertandingan tinju selalu mendapat perhatian besar dari masyarakat penggemar olah raga. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah penonton setiap digelarnya pertandingan tinju, baik amatir maupun profesional, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.<br />Kepopuleran dan kegemaran masyarakat terhadap olah raga tinju dikarenakan olah raga ini dapat membuat penontonnya seolah-olah ikut bertinju tanpa harus menerima resiko dari suatu pertandingan tinju, yaitu resiko menerima pukulan dari lawan yang selain sangat sakit juga dapat berakibat fatal.<br />Olah raga tinju adalah olah raga all round, olah raga yang sangat menarik bagi sebagian besar orang terutama kaum pria, karena di dalam olah raga ini diperagakan tidak saja keperkasaan tetapi juga kematangan teknik, ketahanan fisik dan mental, keuletan bertanding sekaligus juga kecerdikan. Dengan perkataan lain, seorang petinjuyang hanya mengandalkan keperkasaan atau tenaga saja tanpa dibarengi dengan kematangan teknik, ketahanan fisik dan mental, keuletan bertanding dan kecerdikan pasti tidak akan mampu menghadapi lawannya dengan baik.<br /><div class="fullpost"><br />Dalam olah raga tinju timbul berbagai macam perjanjian, seperti perjanjian antara promotor dengan tim medis, perjanjian antara promotor dengan pemilik tempat pertandingan, perjanjian antara promotor dengan stasiun tv, perjanjian antara promotor dengan inspektur pertandingan, promotor dengan manager sasana, perjanjian antara manager sasana dengan petinju. Pada saat ingin melangsungkan pertandingan promotor membuat perjanjian dengan petinju dan manager sasana.<br />Olah raga tinju merupakan olah raga keras dan penuh resiko yang sangat berbahaya. Resiko tersebut dapat timbul karena sepanjang pertandingan berlangsung, seorang petinju terus menerus menguras tenaga dan saling memberi dan menerima pukulanyang terkadang sangat keras. Pukulan-pukulan keras yang diterima seorang petinju selama pertandingan berlangsung bila mengenai bagian-bagian yang sensitif terhadap pukulan, misalnya bagian belakang kepala, rahang, ulu hati, ginjal, bagian terlarang di bawah perut dapat menimbulkan rasa sakityang luar biasa, bahkan dapat menimbulkan cedera seperti keretakan pada rahang, kerusakan paru-paru, gegar otak, pendarahan otak dan cedera-cedera lain. Akibatyang lebih fatal lagi adalah timbulnya kematian, jika cedera yang dialami seorang petinju sangat serius. Tidak jarang seorang petinju yang dipukul knock out di atas ring mengalami luka berat atau cacat seumur hidup, bahkan tidak jarang pula petinju yang tewas seketika atau tewas beberapa saat setelah pertandingan selesai.<br />Ada beberapa contoh kasus yang dapat menunjukkan betapa olah raga tinju dapat mengakibatkan cedera yang serius bahkan dapat menyebabkan kematian seseorang, salah satunya adalah Petinju Anis Dwi Mulya. Pada kasus Anis Dwi Mulya kejadiannya pada tanggal 15 Maret 2007 pada acara “Gelar TinjuProfesional” yang ditayangkan pada stasiun televisi Indosiar, ketika bertanding melawan Petinju Irvan Bone di kelas ringan junior dalam pertarunganyang dijadwalkan 8 (delapan) ronde. Pada ronde pertama, pertarungan berjalan sangat ketat, tapi pada ronde ke-5 (lima) Anis sudah terlihat kurang tenaga. Pada ronde ke-6 (enam), Jumain Doper, pelatih Anis memutuskan untuk menghentikan pertarungan setelah petinjunya dianggap sudah tidak bisa meneruskan pertarungan. Seusai bertanding Anis merasa pusing di bagian kepala dan selanjutnya tim dokter merujuk ke rumah sakit terdekat yaitu RS Sumber Waras. Namun, karena tidak ada CT Scan akhirnya ia dialihkan ke RS UKI (Universitas KristenIndonesia ) Cawang. Setibanya di RS UKI, tim medis langsung memutuskan untuk melakukan operasi karena terjadi pendarahan pada otak. Setelah 5 (lima) hari dirawat akhirnya Anis Dwi Mulya meninggal dunia.<br />Pada kasus tersebut di atas, telah terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang. Dalam kejadian tersebut di atas tentunya ada pihakyang harus dimintakan pertanggungjawabannya dengan bentuk pertanggungjawaban sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada, sesuai dengan bidangnya masing-masing.<br />Pertanggungjawaban yang diatur dapat berupa pertanggungjawaban berbentuk sanksi perdata, sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi pidana didalam Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional tercantum dalam Pasal 89, Ayat 1 sampai dengan Ayat 3,yang berbunyi sebagai berikut:<br />(1) Setiap orang yang menyelenggarakan kejuaraan olahraga tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) dipidana paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).<br />(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerusakan atau gangguan keselamatan pihak lain, setiap orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).<br />(3) Setiap orang yang mengalihfungsikan atau meniadakan prasarana olahraga yang telah ada, baik sebagian maupun seluruhnya tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah)<br /><br />Dalam penulisan ini, penulis memfokuskan penelitian untuk melihat pertanggungjawaban secara pidana dari pihak-pihak terkait. Dalam melakukan penelitian terhadap pertanggungjawaban pidana, penulis akan melihat dari segi pertanggungjawaban pidana yang dapat dimintakan kepada pihak yang telah melakukan kesalahan dalam hal meninggalnya seorang petinju, baik dari segi pertanggungjawaban sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP) dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 89 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional (selanjutnya disebut dengan UU SKN) . Berdasarkan pembahasan mengenai berbagai pertanggungjawaban pidanayang ada, barulah dapat dirumuskan pihak manakah yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya. <br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-10632473984748888762010-01-08T19:28:00.001+07:002010-01-08T19:29:07.772+07:00TUGAS PERBANDINGAN HUKUM MENGENAI KORUPSIPeraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai korupsi ini sebelum adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur dalam 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan sebagai berikut:<br />“Bilamana seorang pejabat, karena melakukan perbuatan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau saranayang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”<br /><div class="fullpost"><br />Namun setelah adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terkait dengan kasus penulis, diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut:<br />“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dna paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-“<br />Kemudian Pasala 2 ayat (2) yaitu “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”<br />Terakhir adalah Pasal 3 yang menyatakan bahwa “Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit satu tahun dan paling 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.- dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-“<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-33946023687828926702010-01-08T19:26:00.001+07:002010-01-08T19:27:22.315+07:00PEMERIKSAAN PERADILAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA OLEH ANAK DALAM KASUS TINDAK PIDANA NARKOTIKA NO: 143 / Pid. B / 2006 / PN. BKSA. Pelaksanaan Pemeriksaan Persidangan Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Kasus Tindak Pidana Narkotika No : 143 / Pid. B / 2006 / PN. BKS atas nama AHMAD HERMAWAN Bin MARJUKI<br />Proses pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri, sesuai dangan Locus Delicti dalam hal ini adalah ada pada Pengadilan Negeri Bekasi sebagai wujud dari kewenangan relative. Proses pemeriksaan tersebut dilakukan setelah adanya Surat Pelimpahan Perkara dan berkas-berkas perkara dari Penuntut Umum yaitu Kejaksaan Negeri Bekasi, hal ini sesuai dengan Pasal 143 KUHAP yang menyatakan bahwa Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengansurat dakwaan. Setelah berkas perkara diterima oleh pengadilan kemudian dilakukan penelitian mengenai kelengkapannya dan juga mengenai kewenangandari pengadilan, dalam hal ini juga akan dipelajari tentang persidangan yang dilakukan, jika pelaku orang dewasa maka akan dilakukan pemeriksaan biasa dan jika pelaku masih anak maka akan dilakukan peradilan khusus yang disebut dengan pengadilan anak.<br />Dalam hal Pengadilan Negeri berpendapat bahwa surat pelimpahan termasuk dalam wewenangnya maka Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut. Dalam Pengadilan Anak hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan adalah hakim Anak seperti yang disebutkan dalar 64 10 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak yang menjelaskan mengenai syarat-syarat untuk ditetapkan sebagai Hakim Anak yaitu :<br /><div class="fullpost"><br />1. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam ingkungan peradilan umum.<br />2. Mempunyai minat, dedikasi dan memahami masalah anak.<br />Kemudian hakim yang ditunujuk untuk menyidangkan akan menerbitkan surat penetapan yang isinya menetapkan hari siding, memerintahkan Penunutut Umum untuk memanggil terdakwa dan saksi untuk datang dalam sidang pengadilan (pasal 152 KUHAP).<br />Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Pengadilan Anak dan hal-hal yang membedakan dengan Pengadilan Biasa penulis akan membahas mengenai proses pemeriksaan kasus Tindak Pidana Narkotika Nomor : 143/Pid.B/2006/PN. BKS atas nama AHMAD HERMAWAN Bin MARJUKI dilakukan dengan Acara Pengadilan Anak. Hal tersebut dilakukan karena terdakwa masih tergolong dalam usia anak menurut Undang- Undang Nomor 3 tahun1997 tentang Peradilan Anak, adapun identitas terdakwa adalah sebagai berikut :<br />No. Putusan : 143/Pid.B/2006/PN. BKS<br />Pelaku :<br />Nama : AHMAD HERMAWAN Bin MARJUKI<br />Tempat Lahir : Bekasi<br />Umur/Tgl Lahir : 17 tahun / 26 januari 1988<br />Jenis Kelamin : Laki- laki<br />Kebangsaan : Indonesia<br />Tempat Tinggal : Kp. Pintu Air RT. 004/005 Ds. Babelan Kec. Babelan Kab. Bekasi.<br />Agama : Islam<br />Pekerjaan : Karyawan<br />Pendidikan : SD (tidak tamat)<br />Hakim : PUJIASTUTI HANDAYANI, SH. MH<br />Panitera : PARTO, SH<br />Dalam kasus ini tuntutan Penuntut Umum yaitu pidana penjara 2 (dua) tahun dikurangi tahanan sementara dengan perintah penahanan dan pidana denda Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), subsidair 30 (tiga puluh) hari latihan kerja, dakwaan primair yaitu tanpa hak dan melawan hokum menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika golongan I (Pasal 82 ayat 1 huruf a UU No. 22 Tahun1997 ) dan dakwaan subsidair yaitu tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memilki, menyimpan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman (pasal 78 ayat 1 huruf a UU No.22 Tahun1997). Dalam penyalesaian perkara ini dilakukan dengan acara persidangan anak, dimana tidak banyak perbedaan dengan persidangan orang dewasa namun pemeriksaannya mengacu pada ketentuan-ketentuan khusus dalam UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Ketentuan khusus tersebut menyangkut persidangannya itu sendiri dan ancaman pidana yang dikenakan, hal itulah yang membedakan dengan pengadilan biasa bagi orang dewasa.<br />Pemeriksaan persidangan Tindak Pidana Narkotika nomor : 143/Pid.B/2006/PN. BKS atas nama terdakwa AHMAD HERMAWAN Bin MARJUKI dilakukan oleh Hakim khusus anak sesuai dengan ketentuan pasal 9 UU No. 3 Tahun 1997. Selain itu dilakukan oleh hakim tunggal dimana telah ditentukan dalam pasal 11 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak, Hal ini dilakukan karena perkara yang disidangkan ini ancaman hukumannya kurang dari 5 (lima) tahun dan pembuktiannya tidak sulit atau mudah, akan tetapi untuk perkara yang pembuktiannya sulit dan ancaman hukumannya lebih dari 5 (lima) tahun maka berdasarkan pasal 11 ayat 2 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak perkara diperiksa dengan Majelis Hakim.<br />Persidangan kasus Tindak Pidana Narkotika yang dilakukan Anak Nomor : 143/Pid.B/2006/PN. BKS dipimpin oleh Hakim Tunggal yaitu PUJIASTUTI HANDAYANI, SH. MH dengan Panitera Pengganti PARTO, SH, Jaksa Penuntut Umum KIKI YONATA, SH dan dihadiriOrang Tua terdakwa, dan Pembimbing Kemasyarakatan Balai pemasyarakatan (BAPAS) Darma Sofiyan. Pasal 57 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun1997 Tentang Pengadilan Anak menghendaki terdakwa selain didampingi Penasehat Hukum juga didampingi oleh orang tua wali atau orang tua asuh dan pembimbing Kemasyarakatan, namun dalam perkara ini terdakwa hanya didampingi oleh orang tua wali atau orang tua asuh dan pembimbing kemasyarakatan tanpa penasehat hokum. Keadaan ini berbeda dengan persidangan untuk orang dewasa KUHAP hanya memperbolehkan terdakwa menghadap sendiri persidangan atau didampingi penasehat hokum. Pasal 56 KUHAP menghendaki jika terdakwa melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun keatas atau bagi terdakwayang tidak mampu yang melakukan tindak pidana dengan ancaman lima tahun keatas yang tidak mempunyai penasehat hokum maka hakim wajib menunjuk penasehat hokum bagi mereka, jadi yang dapat mendampingi terdakwa di persidangan hanyalah penasehat hokum. Kehadiran orang tua kandung terdakwa dan pembimbing Kemasyarakatan dalam persidangan tersebut lebih banyak bersifat pasif, hanya sebagai pemerhati selama persidangan, mereka tidak mempunyai hak membela kepentingan terdakwa seperti mengajukan keberatan terhadapsurat dakwaan dan bertanya kepada saksi atau terdakwa karena hal ini menjadi tugas penasehat hokum. Meskipun demikian bukan berarti tidak mempunyai hak bicara sama sekali di persidangan, mereka mempunyai kesempatan untuk mengemukakan segala hal ikwalyang bermanfaat bagi anak (terdakwa) sebelum hakim mengucapkan putusannya (Pasal 59 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997).<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-7172624160139212592010-01-08T19:21:00.002+07:002010-01-08T19:23:17.314+07:00MAKALAH PENGANTAR ILMU HUKUM “DEFINISI HUKUM MENURUT 2 AHLI HUKUM TERKEMUKA”Hukum adalah suatu peraturan norma-norma dan tata tertib yang muncul di dalam suatu komunitas masyarakat. Hukum tidak pernah diciptakan melainkan tumbuh sendiri di dalam masyarakat seiring dengan kebiasaan-kebiasaan perilaku dari tiap-tiap individu. Tujuan hukum itu tercipta adalah guna memperoleh ketrentaman dan keadilan di antara beberapa individu-individu satu sama lain. Hukum sendiri memiliki pengertian yang dapat dikatakan abstrak. Menurut pendapat Immanuel Kant “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht.”. Hukum itu memiliki banyak segi dan meliputi segala lapangan. Oleh sebab itu tidak mungkin membuatu suatu definisi apa sebenarnya hukum itu.<br /><div class="fullpost"><br />Meskipun hukum tidak memiliki definisi yang pasti tetapi beberapa ahli hukum dari zaman ke zaman selalu mengemukakan persepsinya masing-masing, mengenai apa arti hukum itu sebenarnya. Ada dua ahli hukum yang akan dibahas di dalam makalah ini yaitu Roscoe Pound dan Prof. Mr. J. Van Kan. Kedua ahli hukum ini memiliki pandangan yang cukup berbeda tentang pengertian dari hukum itu sendiri.<br />Untuk inilah tujuan makalah ini ditulis. Makalah ini akan mengulas mengenai pendapat dari kedua ahli hukum tersebut diatas. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dari detail setiap rincian definisi hukum yang sebenarnya, namun setidaknya apa akan tim penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang pendapat yang berbeda mengenai definisi Hukum dari dua ahli hukum terkemuka.<br />Data penulisan makalah ini tim penulis diperoleh melalui metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan cara membaca dan menelaah buku pustaka tentang Ilmu Hukum untuk kalangan umum. Selain itu, tim penulis juga memperoleh datadari internet.<br />Pada bagian akhir tulisan ini, tim penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebenarnya tujuan dari hukum itu ada, apa yang membedakan definisi hukum menurut masing-masing dari ahli hukum ini.<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2662599684972809461.post-56320225180759054322010-01-08T16:59:00.003+07:002010-01-08T17:01:54.220+07:00Makalah - Pembahasan Masalah Kasus Lumpur LapindoKasus pencemaran lumpur panas di daerah Porong, Sidoarjo merupakan kasus yang mendapat banyak perhatian publik. Alasannya adalah kebocoran gas yang terjadi berdampak sangat besar bagi stabilitas nasional. Terjadi kebocoran gas hidrogen sulfida pada tanggal 28 Mei 2006, di salah satu area eksplorasi gas di lokasi Banjar Panji milik perusahaan PT. Lapindo Brantas. Pencemaran industri tersebut berdampak sangatbesar terutama bagi penduduk sekitar. <br /><div class="fullpost"><br />Kebocoran yang membentuk kubangan lumpur ini tidak kurang mengakibatkan tenggelamnya 10 pabrik, 90 sawah, dan banyak permukiman penduduk sekitar. Bahkan kebocoran ini menenggelamkan tol Surabaya-Gempol dengan lumpur panas. Tercatat kebocoran gas tersebut merugikan 1110 kepala keluarga.<br />Pemerintah Indonesia sendiri belum mampu menanggulangi permasalahan kebocoran gas ini, termasuk masalah peradilannya. Terlihat kasus ini merupakan salah satu kegagalan supermasi hukum diIndonesia.<br />Irosnisnya pemerintah masih belum tahu cara menanggulangi pencemaran ini. Banyak upaya yang dilakukan, belum menemukan titik cerah. Ironisnya lagi para ahli di bidang ini berpendapat bahwa pencemaran ini tidak akan berhenti sampai lebih dari 30 tahunyang akan datang. Itu berarti korban yang menderita akan semakin bertmbah.<br />Lalu bagaimana nasib Indonesia jika sudah seperti ini? Dimana azas keadilan yang harus ditegakkan? Siapa yang harus disalahkan dan diadili? Kasus ini tidak lebih dari kegagalan pemerintah Indonesia dalam menjaga dan mengawasi kelestarian lingkungan alam. Bagaimana hukum lingkungan harus diterapkan?<br />Pada kenyataannya regulasi hukum lingkungan di Indonesia masih memiliki beberapa kekurangan baik itu regulasi atau aplikasi penerapan hukum itu sendiri. Diantaranya adalah mengenai kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan sumber daya alam minyak dan gasnya. Tidak hanya mengenai lingkungan tapi pemerintah perlu menegakkan supermasi hukumyang selama ini tidak begitu diterapkan dengan optimal. Pemerintah juga perlu memberikan keadilan bagi korban bencana lumpur panas ini. Memberikan tuntutan yang yang tepat, jelas dan transparan kepada pihak yang bertanggung jawab.<br />Masalah kasus Lumpur Lapindo ini dapat dikatakan sebagai bencana nasional mengingat begitu besar dampak yang diakibatkan olehnya. Pada makalah ini akan dibahas mengenai permasalahan kasus ini. Mengapa kasus ini belum bisa ditangani dengan cepat dan bagaimana kasus ini akan ditangani terutama dalam konteks hukum diIndonesia . Bagimanapun tulisan pada makalah ini belum dapat membahas 100% keseluruhan dari kasus ini, namun diharapkan bahwa makalah ini dapat memberikan tambahan wawasan bagi kita.<br /></div>Profilhttp://www.blogger.com/profile/09608891128969155536noreply@blogger.com